education of health
World Health
 
A.    PENGERTIAN

Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh proses Arterosklerosis yang merupakan suatu kelainan degeneratif. Penyakit jantung koroner adalah terjadinya ketidakseimbangan antara suplai kebutuhan O2 miokard.

Penyakit jantung koroner terjadi akibat:

-          Penyempitan arteri koroner

-          Penurunan aliran darah / curah jantung (Cardiac Output)

-          Peningkatan kebutuhan O2 di miokardia

-          Spasme arteri koroner

Penyebab  utama yaitu arterosklerosis. Meskipun dipengaruhi oleh banyak faktor, karena kelainan degeneratif, maka sering menyebabkan kematian mendadak dan menyerang usia sangat produktif.

B.     ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Penyakit jantung koroner ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan O2 miokardium dan masuknya. Dikenal 2 keadaan ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen, yaitu:

1.      Hipokemia (iskemia), ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) . Pada  iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga perfusi kejaringan berkurang dengan eliminasi metabolik yang ditimbulkannya (misal asam laktat) menurun juga, sehingga gejala akan lebih cepat muncul.

2.      Hipoksia (anoksia), disebabkan oleh kekurangan O2 dalam darah.

Sebenarnya masukan O2 untuk miokardium tergantung dari O2 dalam darah dan arteri koronernya. O2­ dalam darah tergantung dari O2 yang dapat diambil oleh darah. Jadi dipengaruhi oleh Hb, paru-paru dan O2 dalam udara pernafasan.

C.    MENIFESTASI KLINIK

Palpitasi merupakan manifestasi penyakit jantung koroner meskipun tidak spesifik. Manifestasi penyakit jantung koroner bervariasi tergantung pada derajat aliran darah arteri koroner. Bila aliran koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan tidak akan menimbulkan keluhan / manifestasi klinik. Faktor yang mempengaruhi besar dan sifat arus koroner antara lain keadaan anatomi dan faktor mekanis, sistem autoregulasi dan tahanan perifer.

Adapun faktor pencetus yang menambah iskemia seperti, aktifitas fisik, stress,dll. Angina pektoris yang spesifik merupakan gejala utama dan khas bagi penyakit jantung koroner. Sesak nafas mulai dengan nafas terasa pendek sewaktu melakukan aktifitas yang cukup berat, makin lama sesak makin bertambah. Pada keadaan yang lebih lanjut dapat terjadi gagal jantung.

D.    PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik akan mendapatkan data yang sesuai dengan adanya faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner, misalnya hipertensi, hiperlipidemia, DM, merokok, usia, obesitas, keturunan. Pemeriksaan fisik, TTV, perfusi perifer (kulit, pulsasi arteri)

E.     PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.      Ekg

Dikerjakan waktu aktifitas sehari-hari 24 jam, waktu istirahat, ataupun waktu stress.

2.      Pemeriksaan radiologis thorax: Scanning Thalium

3.      Pemeriksaan Laboratorium: darah, ekokardiografi, kadar enzim, fungsi ginjal dan hati.

F.     PENATALAKSANAAN MEDIS

Pasien sebaiknya diberikan secara keseluruhan (holistik). Penatalaksanaan dibagi 2 macam, yaitu:

One.                     Umum

Yang dimaksud disini adalah:

-          Penjelasan menganai penyakit

-          Hal-hal yang mempengaruhi keseimbangan O2 miokardium

-          Pengendalian faktor resiko

-          Pencegahan

-          Penunjang

Two.                    Mengenai iskemia yang terdiri dari:

-          Medikamentosa (obat-obatan)

-          Revaskularisasi

       Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Penyakit Jantung Koroner

1.         Pengkajian

a.         Aktivitas dan istirahat

Kelemahan, kelelahan, ketidakmampuan untuk tidur (mungkin di dapatkan Tachycardia dan dispnea pada saat beristirahat atau pada saat beraktivitas).

b.         Sirkulasi

Mempunyai riwayat IMA, Penyakit jantung koroner, CHF, Tekanan darah tinggi, diabetes melitus.

Tekanan darah mungkin normal atau meningkat, nadi mungkin normal atau terlambatnya capilary refill time, disritmia.

Suara jantung, suara jantung tambahan S3 atau S4 mungkin mencerminkan terjadinya kegagalan jantung/ ventrikel kehilangan kontraktilitasnya.

Murmur jika ada merupakan akibat dari insufisensi katub atau muskulus papilaris yang tidak berfungsi.

Heart rate mungkin meningkat atau menglami penurunan (tachy atau bradi cardia).

Irama jnatung mungkin ireguler atau juga normal.

Edema: Jugular vena distension, odema anasarka, crackles mungkin juga timbul dengan gagal jantung.

Warna kulit mungkin pucat baik di bibir dan di kuku.

c.         Eliminasi

Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.

d.        Nutrisi

Mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit, berkeringat banyak, muntah dan perubahan berat badan.

e.         Hygiene perseorangan

Dispnea atau nyeri dada atau dada berdebar-debar pada saat melakukan aktivitas.

f.          Neoru sensori

Nyeri kepala yang hebat, Changes mentation.

g.         Kenyamanan

Timbulnya nyeri dada yang tiba-tiba yang tidak hilang dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin.

Lokasi nyeri dada bagian depan substerbnal yang mungkin menyebar sampai ke lengan, rahang dan wajah.

Karakteristik nyeri dapat di katakan sebagai rasa nyeri yang sangat yang pernah di alami. Sebagai akibat nyeri tersebut mungkin di dapatkan wajah yang menyeringai, perubahan pustur tubuh, menangis, penurunan kontak mata, perubahan irama jantung, ECG, tekanan darah, respirasi dan warna kulit serta tingkat kesadaran.

h.         Respirasi

Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat perokok dengan penyakit pernafasan kronis. Pada pemeriksaan mungkin di dapatkan peningkatan respirasi, pucat atau cyanosis, suara nafas crakcles atau wheezes atau juga vesikuler. Sputum jernih atau juga merah muda/ pink tinged.

i.           Interaksi sosial

Stress, kesulitan dalam beradaptasi dengan stresor, emosi yang tak terkontrol.

j.           Pengetahuan

Riwayat di dalam keluarga ada yang menderita penyakit jantung, diabetes, stroke, hipertensi, perokok.

k.         Studi diagnostik

ECG menunjukan: adanya S-T elevasi yang merupakan tanda ciri iskemi, gelombang T inversi atau hilang yang merupakan tanda dari injuri, dan gelombang Q yang mencerminkan adanya nekrosis.

Enzym dan isoenzym pada jantung:  CPK-MB meningkat dalam 4-12 jam, dan mencapai puncak pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-12 jam dan mencapai puncak pada 36 jam.

Elektrolit: ketidakseimbangan yang memungkinkan terjadinya penurunan konduksi jantung dan kontraktilitas jantung seperti hipo atau hiperkalemia.

Whole blood cell: leukositosis mungkin timbul pada keesokan hari setelah serangan.

Analisa gas darah:  Menunjukan terjadinya hipoksia atau proses penyakit paru yang kronis ata akut.

Kolesterol atau trigliseid: mungkin mengalami peningkatan yang mengakibatkan terjadinya arteriosklerosis.

Chest X ray: mungkin normal atau adanya cardiomegali, CHF, atau aneurisma ventrikiler.

Echocardiogram: Mungkin harus di lakukan guna menggambarkan fungsi atau kapasitas masing-masing ruang pada jantung.

Exercise stress test:  Menunjukan kemampuan jantung beradaptasi terhadap suatu stress/ aktivitas.

2.         Diagnosa keperawatan dan rencana tindakan

a.         Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan jantung atau sumbatan pada arteri koronaria.

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan adanya penurunan rasa nyeri dada, menunjukan adanya penuruna tekanan dan cara berelaksasi.

Rencana:

1.         Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.

2.         Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).

3.         Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.

4.         Ciptakn suasana lingkungan yangtenang dan nyaman.

5.         Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.

6.         Kolaborasi dalam : Pemberian oksigen dan Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)

7.         Ukur tanda vital sebelum dan sesudah dilakukan pengobatan dengan narkosa.

b.         Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada miokard.

Tujuan: setelah di lakukan tindakan perawatan klien menunnjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas (tekanan darah, nadi, irama dalam batas normal) tidak adanya angina.

Rencana:

1.         Catat irama jantung, tekanan darah dan nadi sebelum, selama dan sesudah melakukan aktivitas.

2.         Anjurkan pada pasien agar lebih banyak beristirahat terlebih dahulu.

3.         Anjurkan pada pasien agar tidak “ngeden”  pada saat buang air besar.

4.         Jelaskan pada pasien tentang tahap- tahap aktivitas yang boleh dilakukan oleh pasien.

5.         Tunjukan pada pasien tentang tanda-tanda fisiki bahwa aktivitas melebihi batas.

c.         Resiko terjadinya penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan dalam rate, irama, konduksi jantung, menurunya preload atau peningkatan SVR, miocardial infark.

Tujuan: tidak terjadi penurunan cardiac output selama di lakukan tindakan keperawatan.

Rencana:

1.         Lakukan pengukuran tekanan darah (bandingkan kedua lengan pada posisi berdiri, duduk dan tiduran jika memungkinkan).

2.         Kaji kualitas nadi.

3.         Catat perkembangan dari adanya S3 dan S4.

4.         Auskultasi suara nafas.

5.         Dampingi pasien pada saat melakukan aktivitas.

6.         Sajikan makanan yang mudah di cerna dan kurangi konsumsi kafeine.

7.         Kolaborasi dalam: pemeriksaan serial ECG, foto thorax, pemberian obat-obatan anti disritmia.

d.        Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan tekanan darah, hipovolemia.

Tujuan: selama dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan perfusi jaringan.

Rencana:

1.         Kaji adanya perubahan kesadaran.

2.         Inspeksi adanya pucat, cyanosis, kulit yang dingin dan penurunan kualitas nadi perifer.

3.         Kaji adanya tanda Homans (pain in calf on dorsoflextion), erythema, edema.

4.         Kaji respirasi (irama, kedalam dan usaha pernafasan).

5.         Kaji fungsi gastrointestinal (bising usus, abdominal distensi, constipasi).

6.         Monitor intake dan out put.

7.         Kolaborasi dalam: Pemeriksaan ABG, BUN, Serum ceratinin dan elektrolit.

e.         Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan excess berhubungan dengan penurunan perfusi organ (renal), peningkatan retensi natrium, penurunan plasma protein.

Tujuan: tidak terjadi kelebihan cairan di dalam tubuh klien selama dalam perawatan.

Rencana:

1.         Auskultasi suar nafas (kaji adanya crackless).

2.         Kaji adanya jugular vein distension, peningkatan terjadinya edema.

3.         Ukur intake dan output (balance cairan).

4.         Kaji berat badan setiap hari.

5.         Najurkan pada pasien untuk mengkonsumsi total cairan maksimal 2000 cc/24 jam.

6.         Sajikan makan dengan diet rendah garam.

7.         Kolaborasi dalam pemberian deuritika.



DAFTAR PUSTAKA

Barbara C long. (1996). Perawatan Medical Bedah. Pajajaran Bandung.

Carpenito J.L. (1997). Nursing Diagnosis. J.B Lippincott. Philadelpia.

Carpenito J.L. (1998.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8 EGC. Jakarta.

Doengoes, Marylin E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.

Hudack & Galo. (1996). Perawatan Kritis. Pendekatan Holistik. Edisi VI, volume I EGC. Jakarta.

Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media aesculapius Universitas Indonesia. Jakarta.

Kaplan, Norman M. (1991). Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. EGC Jakarta.

Lewis T. (1993). Disease of The Heart. Macmillan. New York.

Marini L. Paul. (1991). ICU Book. Lea & Febriger. Philadelpia.

Morris D. C. et.al, The Recognation and treatment of Myocardial Infarction and It’sComplication.

Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. (1993). Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Krdiovaskuler. Departemen Kesehatan. Jakarta.

Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Pembina Ilmu. Bandung.

                    (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Penyakit Jantung. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya.

 
DEFENISI

CAD adalah penyakit pada arteri koroner dimana terjadi penyempitan atau sumbatan pada liang arteri koroner oleh karena proses atherosklerosis. Pada proses artherosklerosis terjadi perlemakan pada dinding arteri koroner yang sudah terjadi sejak usia muda sampai usia lanjut. Proses ini umumnya normal  pada setiap orang. Terjadinya infark dapat disebabkan beberapa faktor resiko, hal ini tergantung dari individu.

SIRKULASI KORONARIA

Dua arteri koronaria yang melayani miocardium muncul dari sinus katup aorta pada pangkal aorta. Sirkulasi koroner ini terdiri dari arteri koronaria kanan dan arteri koronaria kiri. Arteri koronaria kiri mempunyai dua cabang besar, arteria desendens anterior kiri dan arteria sirkumfleksa kiri. Arteria-arteria ini berjalan melingkari  jantung  dalam dua celah anatomi eksterna : suklus atrioventrikularis, yang melingkari jantung di antara atrium dan ventrikel, dan suklus interventrikularis yang memisahkan kedua ventrikel.

Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi otot jantung. Sirkulasi koroner meliput seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil. Untuk dapat mengetahui akibat-akibat dari penyakit jantung koroner, maka kita harus mengenal terlebih dahulu distribusi arteria koronaria ke otot jantung dan sistem penghantar. Morbiditas dan dan mortalitas pada infark miokardia tergantung pada derajat gangguan fungsi yang ditimbulkannya, baik mekanis maupun elektris.

PATHOGENESIS

Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara aliran darah arteri koronaria dengan kebutuhan miokard. Pada CAD menunjukkan ketidakseimbangan antar aliran darah arterial dan kebutuhan miokardium.

Keseimbangan ini dipengaruhi oleh :

·         Aliran darah koroner

·         Kepekaan miokardium terhadap iskhemik

·         Kadar oksigen dalam darah

Aliran darah arterial yang berkurang hampir selalu disebabkan oleh arteriosklerosis.

Arteriosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteria koronaria sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah mokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahaan vaskuler yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar.Dengan demikian keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen genting, mem bahayakan myokardium distal dan daerah lesi. Lesi yang bermakna  secara klinis, yang dapat menyebabkan iskemi dandisfungsi miokardium biasanya menyumbat lebih dari 75 % lumen pembuluh darah. Langkah akhir prose patologis yang menimbulkan gangguan klinis dapat terjadi dengan cara berikut :

1.      Penyempitan lumen progresif akibat pembesaran  plak.

2.      Perdarahan pada plak ateroma

3.      Pembentukan trombus yang diawali agregrasi trombosit

4.      Embolisasi trombus / fragmen plak

5.      Spsme arteria koronaria

Lesi-lesi arteroskleosis biasanya berkembang pada segmen epikardial proksimal dari arteria koronaria yaitu pada temapat lengkungan yang tajam, percabangan atau perlekatan. Pada tahap lebih lanjut lesi-lesi yang tersebar difus menjadi menonjol.

FAKTOR-FAKTOR RESIKO

Yang dapat dirubah:

Mayor:

Peningkatan lipid serum

Hipertensi

Merokok

Gangguan toleransi glukosa

Diet tinggi lemak jenuh, kelesterol dan kalori

Minor:

Gaya hidup yang kurang bergerak

Stress psikologik

Type kepribadian

Yang tidak dapat dirubah:

Usia

Jenis kelamin

Riwayat keluarga

Ras

GEJALA-GEJALA

·         Asimtomatik (tanpa gejala-gejala):

·         Simtomatik (dengan gejala-gejala) :

·         Sakit dada, bedebar-debar, sesak napas, pingsan.

·         Sakit dada

·         Angina pektoris (seperti rasa tertekan, berat, diremas, disertai cemas, keringat dingin, sesak napas)

·         Angina pektoris stabil (sakit dada sesudah melakukan kegiatan)

·         Angina Varian ( terjadi spontan umumnya sewaktu istirahat atau pada waktu aktifitas ringan. Biasanya terjadi akibat spasme pembuluh arteri koroner).

·         Angina Prisemental (sama dengan angina Varian)

·         Infark miokard ( nyeri yang hebat, seperti rasa tertekan, berat, diremas, disertai cemas, keringat dingin, sesak napas, mual, muntah)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

·         Hb / Ht

·         Hitung trombosit, masa perdarahan, masa pembekuan

·         Elektrolit

·         Analisa Gas Darah  (ABGS) : Identifikasi status oksigen, efektifitas fungsi pernapasan, keseimbangan asam-basa

·         Pulse olimetri

·         BUN / Kreatinin

·         Glukosa

·         Amilase

·         Enzym

·         Chest X Ray

·         Elektrokardiografi (EKG)

·         Angiografi

PENGOBATAN

Pencegahan Primer

Tindakan pengobatan yang paling penting pada arterosklerosis koroner adalah pencegahan primer itu sendiri. Pencegahan dilakukan karena :

1.      Penyakit ini secra klinis baru terlihat nyata setelah ada suatu masa laten yang lama dengan perkembangan penyakit yang tidak bergejala pada awal masa dewasa. Lesi yang dianggap sebagai prekursor penyakit arterosklerosis ditemukan pada dinding arteri koroner pada anak-anak dan dewasa muda.

2.      Tidak ada terapi kuratif untuk penyakit arterosklerosis koroner. Begitu penyakit ini diketahui secara klinis, maka terapi hanya pal;iatif untuk mengurangi akibat dan konsekuensi klinis untuk memperlambat perkembangan.

3.      Konsekuensi penyakit arterosklerosis koroner, dapat sangat berbahaya. Infark miokard dapat terjadi tanpa atau dengan sedikit peringatan lebih dahulu, insiden kematian mendadak terjadi sangat tinggi, lebih dari separuh kemtian yang berkaitan dengan infark miokard terjadi pada jam-jam pertama infark, sebelum pasien dirawat di rumah sakit.

Arteosklerosis koroner merupakan salah satu penyebab utama kematian di Amerika serikat. Menurut American Heart Association, sekitar 524.000 kematian disebabkan karena infarka miokard pada tahun 1986.

Pengobatan

Tujuan pengobatan iskemia miokardium adalah memperbaiki ketidakseimbangan antara kebutuhan miokardium akan oksigen dan suplai oksigen.

·         Pengurangan kebutuhan oksigen

a. Pengurangan kerja jantung secara farmakologik:

·         Nitrogliserin

·         Pengahambat beta adrenergik

·         Digitalis

·         Diuretika

·         Vasodilator

·         Sedativa

·         Antagonis kalsium

b. Pengurangan kerja jantung secara fisik :

·         Tirah baring

·         Lingkungan yang tenang

·         Peningkatan suplai oksigen:

·         Nitrogliserin

·         Pemberian oksigen

·         Vasopresor

·         Antiaritmia

·         Antikoagulasiadan agenfibrinotik

·         Antagonis kalsium

Revascularisasi koroner

Aliran darah ke miokardium setelah suatu lesi arterosklerotis pada arteri koroner dapat diperbaiki dengan operasi untuk mengalihkan aliran dan bagian yang tersumbat dengan suatu cangkok pintas, atau dengan meningkatkan aliran di dalam pembuluh yang sakit melalui pemisahan mekanik serta kompresi atau pemakaian obat yang dapat melisiskan lesi.

 

Revascularisasi bedah (cangkok pintas = CABG)

Pembuluh standar yang dipakai dalam melakukan CABG adalah vena savena magna tungkai dan arteria mamae interna kiri dari rongga dada.

Pada pencangkokan pintas dengan vena savena magna, satu ujung dari vena ini disambung ke aporta asendens dan ujung lain ditempelkan pada bagian pembuluh darah sebelah distal dari sumbatan. Saluran baru ini dibuat untuk menghindari pembuluh darah yang mengalami penyempitan, sehingga darah dapat dialirkan ke miokardium yang bersangkutan.

 

PENGKAJIAN

Aktifitas

Dilaporkan :

·         Kelemahan umum

·         Tidak mampu melakukan aktifitas hidup

Ditandai dengan:

·         Tekanan darah berkisar antara 124/91 mmhg- 137/97 mmhg

·         Denyut nadi berkisar antara 100 - 112 x/menit

·         Pernapasan sekitar 16-20 x/menit

·         Terjadi perubahan sesuai dengan aktifitasnya dan rasa nyeri yang timbul sekali-sekali waktu batuk.

Sirkulasi

Dilaporkan :

·         Riwayat adanya Infark Miokard Akut, tiga atau lebih penyakit arteri koronaria, kelainan katub jantung, hipertensi

Ditandai dengan :

·         Tekanan darah yang tidak stabil, irama jantung teratur

·         Disritmia / perubahan EKG

·         Bunyi jantung abnormal : S3 / S4 murmur

·         Sianosis pada membran mukosa/kulit

·         Dingin  dan kulit lembab

·         Edema / JVD

·         Penurunan denyut nadi perifer

·         Perubahan status mental

Status Ego

Dilaporkan :

·         Merasa tak berdaya / pasrah

·         Marah / ketakutan

·         Ketakuatan akan kematian, menjalami operasi, dan komplikasi yang timbul

·         Takut akan perubahan gaya hidup atau fungsi peran

Ditadai dengan :

·         Kelemahan yang sangat

·         Imsomania

·         Ketegangan

·         Menghindari kontak mata

·         Menangis

·         Perubahan tekanan darah dan pola napas

Makan/minum

Dilaporkan :

·         Perubahan berat badan

·         Hilangnya nafsu makan

·         Nyeri abdomen, nausea/muntah

·         Perubahan frekwensi miksi/meningkat

Ditandai dengan :

·         Menurunnya BB

·         Kulit kering, turgor kulit menurun

·         Hipotensi postural

·         Bising usus menurun

·         Edem (umum, lokal)

Sensoris

Dilaporkan :

·         Sering pusing

·         Vertigo

Ditandai dengan :

·         Perubahan orientasi atau kadang berbicara tidak relefan

·         Mudah marah, tersinggung, apatis.

Nyeri / kenyamanan

Dilaporkan :

·         Nyeri dada/ angina

·         Nyeri post operasi

·         Ketidaknyamanan karena adanya luka oprasi

Ditandai dengan :

·         Post operatif

·         Wajah tapak kesakitan

·         Perilakau tidak tenang

·         Membatasi gerakan

·         Gelisah

·         Kelemahan

·         Perubahan tekanan darah, nadi, dan pernapasan

Pernapasan

Dilaporkan :

·         Napas cepat dan pendek

·         Post operatif

·         Ketidakmampuan untuk batuk dan napas dalam

Ditandai dengan :

·         Post operatif

·         Penurunan pengembangan rongga dada

·         Sesak napas (normal karena torakotomi)

·         Tanpa suara napas (atelektasis)

·         Kecemasan

·         Perubahan pada ABGs / pulse axymetri

Rasa Aman

Dilaporkan :

·         Periode infeksi perbaikan katub

·         Ditandai dengan :

·         Post operati : peradarahan dari daerah dada atau berasal dari insisi daerah donor.

Penyuluhan
Dilaporkan :

  • Faktor resiko seperti diabetes militus, penyakit jantung, hipertensi, stroke
  • Penggunaan obat-obat kardivaskuler ya ng bervariasi
  • Memperbaiki kegagalan/kekurangan
DIAGNOSA KEPERAWATAN

·         Resiko tinggi penurunan kardiak output :

Faktor resiko :

·         Penurunan kontraktilitas miokardium sekunder akibat pembedahan dinding ventrikel, MI, respon pengobatan.

·         Penurunan preload (hipovolemia)

·         Penurunan dalan konduksi elektrikal (dysritmia)

·         Gangguan rasa nyaman:  nyeri (akut) sehubungan dengan

·         sternotomi (insisi mediastinum ) dan atau insisi pada daerah donor.

·         Miokardial iskemia (MI akut angina)

·         Peradangan pada jaringa atau edem

·         Trauma saraf pada intraoperatif

·         kecemasan, gelisahm, mudah tersinggung

·         Gangguanprilaku

·         Peningkatan denyut nadi

·         Perubahan peran sehubungan dengan :

Krisis situasi / proses penyembuhan

Ketidakpastian akan masa depan

Ditandai dengan :

·         Kemunduran/perubahan kemampuan fisik untuk mengembalikan peran

·         Perubahan peran yang sesuai / biasanya atau tanggung jawab

·         Perubahan dalam diri / persepsi lain terhadap perannya

·          Resiko tinggi tidak efektifnya jalan napas sehubungan dengan

·         Ventilasi yang tidak adekuat (nyeri/kelemahan otot)

·         Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen (kehilangan darah)

·         Penurunan pengembangan paru (Atelektasis / pnemotorak / hematotorak).

·         Aktual  kerusakan/integritas kulit sehubungan dengan insisi pembedahan dan lokasi jahitan luka.

Ditandai dengan :

Luka / koyaknya permukaan kulit

·         Kurang pengetahuan tentang keadaan dan pemeliharaan post operasi sehubungan dengan kurang terbuka, mis interprestasi informasi, kurang daya ingat.

Ditandai dengan

·         Bertanya / meminta informasi

·         Mengungkapkan tentang masalahnya

·         Adanya kesalahpaham persepsi

·         Tidak adekuat mengikuti instruksi

 

DAFTAR PUSTAKA :

·         Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987.

·         Donna D, Marilyn. V, Medical Sugical Nursing, WB Sounders, Philadelpia 1991.

·         Marylin Doenges, Nursing Care Plans,F.A Davis Company, Philadelpia, 1984 

·         Sylvia Anderson Price, Ph D. R.N. dan L.Mc.Carty Wilson, Ph D. R.N, Pathofisiologi proses-proses penyakit, edisi I, Buku ke empat.  

 
Pengertian

Bedah jantung adalah : Usaha atau operasi yang dikerjakan untuk melakukan koreksi kelainan anatomi atau fungsi jantung.

Operasi Jantung Dibagi Atas :

1.      Operasi jantung terbuka, yaitu operasi yang dijalankan dengan membuka rongga jantung dengan memakai bantuan mesin jantung paru (mesin extra corporal).

2.      Operasi jantung tertutup, yaitu setiap operasi yang dijalankan tanpa membuka rongga jantung misalnya ligasi PDA, Shunting aortopulmonal.

Tujuan Operasi Jantung

Operasi jantung dikerjakan dengan tujuan baermacam-macam antara lain :

1.      Koreksi total dari kelainan anatomi yang ada, misalnya penutupan ASD, Pateh VSD, Koreksi Tetralogi Fallot, Koreksi Transposition Of Great Arteri (TGA). Umumnya tindakan ini dikerjakan terutama pada anak-anak (pediatrik) yang mempunyai kelainan bawaan.

2.      Operasi paliatif yaitu melakukan operasi sementara untuk tujuan mempersiapkan operasi yang definitif/total koreksi karena operasi total belum dapat dikerjakan saat itu, misalnya shunt aortopulmonal pada TOF, Pulmonal atresia.

3.      Repair yaitu operasi yang dikerjakan pada katub jantung yang mengalami insufisiensi.

4.      Replacement katup yaitu operasi penggantian katup yang mengalami kerusakan.

5.      Bypass koroner yaitu operasi yang dikerjakan untuk mengatasi stenosis/sumbatan arteri koroner.

6.      Pemasangan inplant seperti kawat ‘pace maker’ permanen pada anak-anak dengan blok total atrioventrikel.

7.      Transplantasi jantung yaitu mengganti jantung seseorang yang tidak mungkin diperbaiki lagi dengan jantung donor dari penderita yang meninggal karena sebab lain.

Diagnosis Penderita Penyakit Jantung

Untuk menetapkan suatu penyakit jantung sampai kepada suatu diagnosis maka diperlukan tindakan investigasi yang cukup. Mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik/jasmani, laboratorium, maka untuk jantung diperlukan pemeriksaan tambahan sebagai berikut :

1.      Elektrokardiografi (EKG) yaitu penyadapan hantaran listrik dari jantung memakai alat elektrokardiografi.

2.      Foto polos thorak PA dan kadang-kadang perlu foto oesophagogram untuk melihat pembesaran atrium kiri (foto lateral).

3.      Fonokardiografi

4.      Ekhocardiografi yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai gelombang pendek dan pantulan dari bermacam-macam lapisan di tangkap kembali. Pemeriksaan ini terdiri dari M. mode dan 2 Dimentional, sehingga terlihat gambaran rongga jantung dan pergerakan katup jantung. Selain itu sekarang ada lagi Dopler Echocardiografi dengan warna, dimana dari gambaran warna yang terlihat bisa dilihat shunt, kebocoran katup atau kolateral.

5.      Nuklir kardiologi yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai isotop intra vena kemudian dengan “scanner” ditangkap pengumpulan isotop pada jantung.

      Dapat dibagi :

      1. Perfusi myocardial dengan memakai Talium 201.

      2. Melihat daerah infark dengan memakai Technetium pyrophospate 99.

      3. Blood pool scanning.

6.      Kateterisasi jantung yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai kateter yang dimasukan ke pembuluh darah dan didorong ke rongga jantung. Kateterisasi jantung kanan melalui vena femoralis, kateterisasi jantung kiri melalui arteri femoralis.

      Pemeriksaan kateterisasi bertujuan :

a)      Pemeriksaan tekanan dan saturasi oksigen rongga  jantung, sehingga diketahui adanya peningkatan saturasi pada rongga jantung kanan akibat suatu shunt dan  adanya hypoxamia pada jantung bagian kiri.

b)      Angiografi untuk melihat rongga jantung atau pembuluh darah tertentu misalnya LV grafi, aortografi, angiografi koroner dll.

c)      Pemeriksaan curah jantung pada keadaan tertentu.

7.      Pemeriksaan enzym khusus, yaitu pemeriksaan enzym creati kinase dan fraksi CKMB untuk penentuan adanya infark pada keadaan “ unstable angin pectoris”.

Indikasi Operasi

1.      “Left to rigth shunt” sama atau lebih dari 1,5 (aliran paru dibandingkan aliran ke sistemik ³ 1,5).

2.      “Cyanotic heart disease “.

3.      Kelainan anatomi pembuluh darah besar dan koroner

4.      Stenosis katub yang berat (symtomatik).

5.      Regurgitasi katub yang berat (symtomatik)

6.      Angina pektoris kelas III dan IV menurut Canadian Cardiology Society (CCS).

7.      “Unstable angina pectoris”.

8.      Aneurisma dinding ventrikel kiri akibat suatu infark miokardium akut.

9.      Komplikasi akibat infark miokardium akut seperti VSD dan mitral regurgitasi yang berat karena ruptur otot papilaris.

10.  “Arrhytmia” jantung misalnya WPW syndrom.

11.  Endokarditis/infeksi katub jantung.

12.  Tumor dalam rongga jantung yang menyebabkan obstruksi pada katub misalnya myxoma.

13.  Trauma jantung dengan tamponade atau perdarahan.

Toleransi dan perkiraan resiko operasi

Toleransi terhadap operasi diperkirakan berdasarkan keadaan umum penderita yang biasanya ditentukan dengan klasifikasi fungsional dari New York Heart Association.

Klas   I    : Keluhan dirasakan bila bekerja sangat berat misalnya berlari.

Klas  II    : Keluhan dirasakan bila aktifitas cukup berat misalnya berjalan cepat.

Klas III   : Keluhan dirasakan bila aktifitas lebih berat dari pekerjaan sehari-hari.

Klas IV    : Keluhan sudah dirasakan pada aktifitas primer seperti untuk makan dan lain-lain sehingga penderita harus tetap berbaring ditempat tidur.

Waktu Terbaik (Timing) Untuk Operasi

Hal ini ditentukan berdasarkan resiko yang paling kecil. Misalnya umur yang tepat untuk melakukan total koreksi Tetralogi Fallot adalah pada umur 3 - 4 tahun.

Hal ini yaitu berdasarkan klasifikasi fungsional di mana operasi katub aorta karena suatu insufisiensi pada klas IV adalah lebih tinggi dibandingkan pada klas III. Hal ini adalah saat operasi dilakukan. Operasi pintas koroner misalnya bila dilakukan secara darurat resikonya 2 X lebih tinggi bila dilakukan elektif.

Pembagian Waktu dibagi atas :

1.      Emergensi yaitu operasi yang sifatnya sangat perlu untuk menyelamatkan jiwa penderita. Untuk bypass coroner hal ini dilakukan kapan saja tergantung persiapan yang diperlukan.

2.      Semi Elektif yaitu operasi yang bisa ditunda 2 - 3 hari atau untuk koroner dilakukan 3 X 24 jam setelah dilakukan kateterisasi jantung.

3.      Elektif yaitu operasi yang direncanakan dengan matang atas indikasi tertentu, waktunya lebih dari 3 hari.

Pemilihan Tehnik Operasi

Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah :

1.      Apakah bisa dilakukan koreksi total

2.      Kalau tidak bisa dilakukan koreksi total karena keterbatasan umur dan anatomi/kelainan yang didapat maka harus dipilih tehnik operasi untuk membantu operasi definitif misalnya “ shunt “ pada Tetralogi Fallot.

3.      Apabila tidak bisa dilakukan koreksi total atau operasi definitif dengan resiko yang tinggi maka harus dipilih operasi untuk memperbaiki kwalitas hidup penderita tersebut misalnya “shunt” saja.

4.      “Repair” katub lebih diutamakan/dianjurkan dari pada “replacement”/penggantian katub yang rusak.

5.      Hasil-hasil dari kasus-kasus yang sudah dikerjakan orang lain.

Sayatan Operasi

1.      Mid Sternotomi

Posisi klien terlentang, kepala ekstensi dan daerah vertebra antara skapula kanan dan kiri diganjal secukupnya sehingga insisi cukup leluasa. Harus diperhatikan dalam setiap posisi :

a)      Seluruh daerah yang mengalami tekananan harus dilindungi dengan bantal atau karet busa misalnya kepala, daerah sakrum dan tumit.

             Tidak boleh ada barang-barang logam yang keras, kontak langsung dengan penderita sehingga dapat terjadi dekubitus.

b)      Pemasangan “lead EKG “, kateter urin, slang infus tidak boleh “kinking” dan melewati bawah kulit klien sehingga menimbulkan bekas.

c)      Pemasangan “plate kauterisasi” pada otot pinggul dan hati-hati terhadap N. ischiadicus yang berjalan di daerah sakrum dan penderita harus dihubungkan dengan kabel yang ke bumi.

d)     Posisi penderita harus difiksasi dengan stabil sehingga tidak mudah meluncur kalau meja operasi diputar atau tidak bergerak kalu dilakukan shock listrik.

Insisi kulit pada daerah median mulai dari atas suprasternal notch vertikal sampai 3 cm di bawah prosesus xyphoideus dengan pisau No. 24 bila klien dewasa, untuk bayi dan anak-anak dengan pisau No. 15.

Hemostasis dengan kauterisasi fasia sampai ligamen subra sternal dipotong, begitu juga prosesus xyphoideus ibelah dengan gunting kasar. Hemostasis dari vena yang melintang di atas prosesus xyphoideus harus baik.

Tulang sternum dibelah dengan gergaji listrik biasanya dari arah prosesus xypoideus ke atas dan saat itu paru-paru dikolapskan beberapa detik untuk menghindari terbukanya pleura.

Hemastasis pinggir sternum dengan kauter dan bila perlu gunakan bone wak.

Selanjutnya sisa-sisa kelenjar timus, didiseksi sampai vena inominata kelihatan bebas. Perikardium dibuka di tengah  atau agak ke kanan apabila akan digunakan untuk “patch” dan dilebarkan sedikit kearah lateral dibagian proksimal dan diafragma. Perikardium difixir ke pinggir luka sehingga jantung agak terangkat.

Apabila prosedur utama telah selesai dan dinding dada akan ditutup maka harus diyakini benar bahwa hemostasis terhadap semua bekas insisi dan jahitan telah aman, perikardium kalau perlu tidak usah ditutup rapat, dipasang drain untuk mengeluarkan sisa darah, sternum diikat dengan kawat. Harus diingat saat menutup sternum apakah ada pengaruh terhadap tekanan darah terutama kalau tekanan darah turun. Jahitan kulit subkutikuler/kutikuler dengan dexon.

2.      Torakotomi posterolateral

Sayatan ini biasanya untuk klien koarktasio aorta, PDA, shunt atau aneurisma aorta desenden. Posisi klien miring ke kanan dengan syarat-syarat seperti di atas.

Insisi kulit mulai dari garis aksila tengah ke posterior kira-kira 2 cm di bawah angulus inferior skapula dan prosesus spinosus vertebra. Kulit, subkutis, otot latisimus dorsi dipotong dengan hemostasis yang baik dengan kauter dan otot seratus anterios hanya dibelah dan dipotong pada insertionya.

Rongga toraks dibuka pada sela iga ke 4 dengan diseksi di bagian atas iga ke V untuk menghindari pembuluh darah. Setelah selesai rongga toraks ditutup dengan mengikat iga dengan jahitan absorbable dan selanjutnya otot diapraksimasi kembali seperti aslinya dan kulit dijahit subkutikuler.

3.      Torakotomi Anterolateral

Posisi penderita terlentang dan bagian kiri diganjal sedikit sehingga lebih tinggi / miring 45 °. Insisi pada sela iga ke V. Pendekatan ini untuk emergensi karena luka tusuk jantung dengan tamponade atau hanya perikardiotomi banding pulmonalis.

Persiapan penderita prabedah.

Setelah penderita diputuskan untuk operasi maka perlu dipersiapkan agar operasi dapat berlangsung sukses. Persiapan terdiri dari  :

a)      Persiapan mental

      Menyiapkan klien secara mental siap menjalani operasi, menghilangkan kegelisahan menghadapi operasi. Hal ini ditempuh dengan cara wawancara dengan dokter bedah dan kardiolog tentang indikasi operasi, keuntungan operasi, komplikasi operasi dan resiko operasi. Diterangkan juga hal-hal yang akan dialami/akan dikerjakan di kamar operasi dan ICU dan alat yang akan dipasang, juga termasuk puasa, rasa sakit pada daerah operasi dan kapan drain dicabut.

b)     Persiapan medikal

  1. Obat-obatan
·         Semua obat-obatan antikoagulan harus dihentikan 1 minggu sebelum operasi (minimal 3 hari sebelum operasi).

·         Aspirin dan obat sejenis dihentikan 1 minggu sebelum operasi.

·         Digitalis dan diuretik dihentikan 1 hari sebelum operasi.

·         Antidiabetik diteruskan dan bila perlu dikonversi dengan insulin injeksi selama operasi.

·         Obat-obat jantung diteruskan sampai hari operasi.

·         Antibiotika hanya diberikan untuk propilaksis dan diberikan waktu induksi anestesi di kamar operasi, hanya diperlukan test kulit sebelum operasi apakah ada alergi.

  1. Laboratorium 1 hari sebelum operasi antara lain  :
·         Hematologi lengkap + hemostasis.

·         LFT.

·         Ureum, Creatinin.

·         Gula darah.

·         Urine lengkap.

·         Enzim CK dan CKMB untuk CABG.

·         Hb  S Ag.

·         Gas darah.

Bila ada kelainan hemostasis atau faktor pembekuan harus diselidiki penyebabnya dan bila perlu operasi ditunda sampai ada kepastian bahwa kelainan tersebut tidak akan menyebabkan perdarahan pasca bedah.

3.      Persiapan darah untuk operasi.

Permintaan darah ke PMI terdiri dari  :

Packad cell                    :  750 cc

Frash Frozen Plasma     :  1000 cc

Trombosit                     :   3 unit.

Permintaan darah ke PMI minimal 24 jam sebelum operasi elektif dan tentu tergantung persediaan darah yang ada di PMI saat itu.

4.      Mencari infeksi fokal.

Biasanya dicari gigi berlobang atau tonsilitis kronis dan ini konsultasikan ke bagian THT dan gigi. Kelainan kulit seperti dermatitis dan furunkolosis/bisul harus diobati dan juga tidak dalam masa inkubasi/infeksi penyakit menular.

5.      Fisioterapi dada.

Untuk melatih dan meningkatkan fungsi paru selama di ICU dan untuk mengajarkan bagaimana caranya mengeluarkan sputum setelah operasi untuk mencegah retensi sputum. Bila penderita diketahui menderita asthma dan penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) maka fisioterapi harus lebih intensif dikerjakan dan kadang-kadang spirometri juga membantu untuk melihat kelainan yang dihadapi. Bila perlu konsultasi ke dokter ahli paru untuk problem yang dihadapi.

6.      Perawatan sebelum operasi.

Saat ini perawatan sebelum operasi dengan persiapan yang matang dari poliklinik maka perawatan sebelum operasi dapat diperpendek misalnya 1 - 2 hari sebelum operasi. Hal ini untuk mempersiapkan mental klien dan juga supaya tidak bosan di Rumah Sakit.

Perawatan pasca bedah

Perawatan pasca bedah dimulai sejak penderita masuk ke ICU. Untuk mengetahui problem pasca bedah dianjurkan untuk mengetahui problem penderita pra bedah sehingga dapat diantisipasi dengan baik.

Misalnya problem pernapasan, diabetes dan lain-lain.

Perawatan pasca bedah dibagi atas  :

1.      Perawatan di ICU.

a)      Monitoring Hermodinamik.

Setelah penderita pindah di ICU maka timbang terima antara perawat yang mengantar ke ICU dan petugas/perawat ICU yang bertanggung jawab terhadap penderita tersebut : Dianjurkan setiap penderita satu perawat yang bertanggung jawab menanganinya selama 24 jam. Pemantauan yang dikerjakan harus secara sistematis dan mudah :

·         CVP,  RAP,  LAP,

·         Denyut jantung.

·         “Wedge presure” dan PAP.

·         Tekanan darah.

·         Curah jantung.

·         Obat-obat inotropik yang digunakan untuk support fungsi jantung dosisnya, rutenya dan lain-lain.

·         Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pach jantung dll.

b)      EKG

Pemantauan EKG setiap saat harus dikerjakan dan dilihat irama dasar jantung dan adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok atrioventrikel dll.  Rekording/pencatatan EKG lengkap minimal 1 kali dalam sehari dan tergantung dari problem yang dihadapi terutama bila ada perubahan irama dasar jantung yang membahayakan.

c)      Sistem pernapasan

Biasanya penderita dari kamar operasi masih belum sadar dan malahan diberikan sedasi sebelum ditransper ke ICU. Sampai di ICU segera respirator dipasang dan dilihat :

·         Tube dan ukuran yang diapakai, melalui mulut / hidung.

·         Tidak volume dan minut volume, RR, Fi O 2, PEEP.

·         Dilihat aspirat yang keluar dari bronkhus / tube, apakah lendirnya normal, kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda edema paru ; bila perlu dibuat kultur.

d)     Sistem neurologis

Kesadaran dilihat dari/waktu penderita mulai bangun atau masih diberikan obat-obatan sedatif pelumpuh otot.  Bila penderita mulai bangun maka disuruh menggerakkan ke 4 ektremitasnya.

e)      Sistem ginjal

Dilihat produksi urine tiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat hemolisis  dan lain-lain. Pemerikasaan ureum / kreatinin bila fasilitas memungkinkan harus dikerjakan.

f)       Gula darah

Bila penderita adalah dabet maka kadar gula darah harus dikerjakan tiap 6 jam dan bila tinggi mungkin memerlukan infus insulin.

g)      Laboratorium  :

Setelah sampai di ICU perlu diperiksa   :

·         HB, HT, trombosit.

·         ACT.

·         Analisa gas darah.

·         LFT / Albumin.

·         Ureum, kreatinin, gula darah.

·         Enzim CK dan CKMB untuk penderita bintas koroner.

h)      Drain

Drain yang dipasang harus diketahui sehingga perdarahan dari mana mungkin bisa diketahui. Jumlah drain tiap satuan waktu biasanya tiap jam tetapi bila ada perdarahan maka observasi dikerjakan tiap ½ jam. Atau tiap ¼ jam. Perdarahan yang terjadi lebih dari 200 cc untuk penderita dewasa tiap jam dianggap sebagai perdarahan pasca bedah dan muingkin memerlukan  retorakotomi untuk menghentikan perdarahan.

i)        Foto thoraks

Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk melihat ke CVP, Kateter Swan Ganz. Perawatan pasca bedah di ICU harus disesuaikan dengan problem yang dihadapi seperti komplikasi yang dijumpai. Umumnya bila fungsi jantung normal, penyapihan terhadap respirator segera dimulai dan begitu juga ekstratubasi beberapa jam setelah pasca bedah.

j)        Fisioterapi.

Fisioterapi harus segera mungkin dikerjakan termasuk penderita dengan ventilator. Bila sudah ekstubasi fisioterapi penting untuk mencegah retensi sputum (napas dalam, vibrilasi, postural drinase).

2.    Perawatan setelah di ICU / di Ruangan.

Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi semua organ terus dilanjutkan. Biasanya pindah dari ICU adalah pada hari ke dua pasca bedah. Umumnya pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk laboratorium LFT, Enzim CK dan CKMB.

Hari ke 3 lihat keadaan dan diperiksa antara lain :

·         Elektrolit thrombosis.

·         Ureum

·         Gula darah.

·         Thoraks foto

·         EKG  12 lead.

Hari ke 4  : lihat keadaan, pemeriksaan atas indikasi.

Hari ke 5 : Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak.

Hari ke 6  -  10 pemerikasaan atas indikasi, misalnya thrombosis.

Obat - obatan  : Biasanya diberikan analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan mengganggu pernapasan klien.  Obat-obat lain seperti anti hipertensi, anti diabet, dan vitamin harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator, juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke 7 atau sampai klien pulang.

Perawatan luka, dapat tertutup atau terbuka.  Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, lekositosis, maka luka harus dibuka jahitannya sehuingga nanah yang ada bisa bebas keluar. Kadang-kadang perlu di kompres dengan antiseptik supaya nanah cepat kering. Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat di buka pada hari ke delapan atau sembilan pasca bedah. Untuk klien yang gemuk, diabet kadang-kadang jahitan dipertahankan lebih lama untuk mencegah luka terbuka.

Fisioterapi, setelah klien exstubasi maka fisioterapi harus segera dikerjakan untuk mencegah retensi sputum yang akan menyebabkan problem pernapasan. Mobilisasi di ruangan mulai dengan duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau oleh perawat.

 
Pendahuluan

Otak dapat dipengaruhi berbagai macam tumor. Pasien yang mengalami tumor tersebut akan mengalami gejala-gejala dan defisit neurologi yang tergantung histologi, tipe, lokasi dan cara pertumbuhan dari pada tumor. Diagnosa awal dari tumor sangat penting sekali untuk mencegah kerusakan neurologis secara permanent. Peranan perawat sangat penting sekali dalam merawat pasien dan keluarganya hal ini disebabkan karena banyak sekali kemungkinan masalah-masalah fisik, psikologis dan sosial yang akan dihadapi.

Etiologi

Penyebab dari tumor belum diketahui. Namun ada bukti kuat yang menunjukan bahwa beberapa agent bertanggung jawab untuk beberapa tipe tumor-tumor tertentu. Agent tersebut meliptu faktor herediter, kongenital, virus, toksin, dan defisiensi immunologi. Ada juga yang mengatakan bahwa tumor otak dapat terjadi akibat sekunder dari trauma cerebral dan penyakit peradangan. (Fagan Dubin, 1979; Larson, 1980; Adams dan Maurice, 1977; Merrit, 1979). Metastase ke otak dari tumor bagian tubuh lain juga dapat terjadi. Karsinoma metastase lebih sering menuju ke otak dari pada sarkoma. Lokasi utama dari tumor otak metastase berasal dari paru-paru dan payudara.

Patofisiologi

Tumor intracranial primer atau neoplasma adalah suatu peningkatan sel-sel intrinsik dari jaringan otak dan kelenjar pituitari dan pineal.

Tumor sekunder/metastase merupakan penyebab tumor intracranial, kebanyakan merupakan metastase dari tumor paru-paru dan payudara.

Prognosis untuk pasien dengan tumor intra cranial tergantung pada diagnosa awal dan penanganannya, sebab pertumbuhan tumor akan menekan pada pusat vital dan menyebabkan kerusakan serta kematian otak. Meskipun setengah dari seluruh tumor adalah jinak, dapat juga menyebabkan kematian bila menekan pusat vital.

 

Gejala-gejala dari tumor intra cranial akibat efk lokal dam umum dari tumor. Efek lokal berupa infiltrasi, invasi an pengrusakan jaringan otak pada bagian tertentu. Ada juga yang langsung menekan pada struktur saraf, menyebabkan degenerasi dan gangguan sirkulasi lokal.

Edema dapat berkembang dan terjadi peningkatan takanan intracranial (TIK). Peningkatan TIK akan dipindahkan melalui otak dan sistem ventrikel. Dapat juga terjadi sistem ventrikel ditekan dan diganti sehingga menyebabkan obstruksi sebagian vebtrikel. Papilledema akibat dari efek umum dari peningkatan TIK, kematian biasanya akibat dari kompressi otak tengah akibat herniasi.

Tipe Tumor Intracranial

1.      Glioma terdiri dari :

·         Glioblastoma multiforme                                                      20 %

·         Astrocytoma                                                                        10 %

·         Ependymoma                                                                       6 %

·         Medulloblastoma                                                                  4 %

·         Oligodendrocytoma                                                               5 %

2.      Meningioma                                                                          15 %

3.      Pituitary Adenoma                                                                 7 %

4.      Neurinoma                                                                            7 %

5.      Metastatic Carcinoma                                                            6 %

6.      Craniophryngioma, Dermoid, Epidermoid, Teratoma                4 %

7.      Angiomas                                                                              4 %

8.      Sarcomas                                                                               4 %

9.      Unclassified (mostly gliomas)                                                  5 %

10.  Miscellaous (Pinealoma, Chordoma, Granuloma)                         3 %

Jumlah total :                                                                                 100 %


Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik  umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF)

·         Sakit kepala

·         Nausea atau muntah proyektil

·         Pusing

·         Perubahan mental

·         Kejang

Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak)

1.      Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema.

2.      Perubahan bicara, msalnya: aphasia

3.      Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.

4.      Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.

5.      Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi.

6.      Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.

7.      Perubahan dalam seksual

8.      Tanda-tanda dan gejala-gejala spesifik lesi dari masing-masing lobus dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Komplikasi 

a.       Edema serebral

b.      Tekanan intracranial meningkat.

c.       Herniasi otak

d.      Hidrosefalus.

e.       Kejang.

f.       Metastase ke tempat lain.

Studi diagnostic dan hasil.

a.       Scan otak. Meningkatt isotop pada tumor.

b.      Angiografi serebral. Deviasi pembuluh darah.

c.       X-ray tengkorak. Erosi posterior atau adanya kalsifikasi intracranial.

d.      X-ray dada. Deteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.

e.       CT scan atau MRI. Identfikasi vaskuler tumor, perubahan ukuran ventrikel serebral.

f.       Ekoensefalogram. Peningkatan pada struktur midline.

3.      Manajemen medis.

Pengobatan tumor otak meliputi pembedahan, kemoterapi, radiasi atau kombinasi ketiga – tiganya.

a.       Managemen umum. Terapi radiasi dan nutrisi yang adekuat.

b.      Pembedahan. Kraniotomi, kraninektomi, prosedur transpheniodal, prosedur shunting, dan reservoir Ommaya.

c.       Terapi obat. Kortikosteroid, antikonvulsan, analgesic/antipiretik, histamine reseptor antagonis, antacids, kemoterapi sistemik.

 

Pengkajian

Data Subyektif

1.      Pemahaman pasien tentang penyakitnya

2.      Perubahan dalam individu atau pertimbangan

3.      Adanya ketidakmampuan sensasi ( parathesia atau anasthesia)

4.      Masalah penglihatan (hilangnya ketajaman atau diplopia)

5.      Mengeluh bau yang tidak biasanya (sering tumor otak pada lobus temporale)

6.      Adanya sakit kepala

7.      Ketidakmampaun dalam aktifitas sehari-hari.

Data Obyektif

1.      Kekuatan pergerakan

2.      Berjalan

3.      Tingkat kewaspadaan dan kesadaran

4.      Orientasi

5.      Pupil : ukuran, kesamaan, dan reaksi

6.      Tanda-tanda vital

7.      Pemeriksaan funduscopy untuk mengetahui papilaedema

8.      Adanya kejang

9.      Ketidaknormalan berbicara

10.  Ketidaknormalan saraf-saraf kranial

11.  Gejala-gejala peningkatan tekanan intracranial

Diagnosa keperawatan

1.      Kecemasan

2.      Perubahan dalam rasa nyaman : nyeri

3.      Gangguan komunikasi verbal

4.      Bersedih Kurangnya pengetahuan

5.      Gangguan mobilitas fisik

6.      Perubahan persepsi sensorik : auditary, visual, kinestetik, gustatory, tactile.

7.      Gangguan proses berpikir

8.      Gangguan perfusi jaringan cerebral

Perencanaan dan pelaksanaan

Tujuan pasien yang diharapkan :

1.      Pasien dapat melakukan aktifitas sehari-hari semaksimal mungkin

2.      Pasien dapat menjelaskan terapi spesifik dan tujuan yang diharapkan.

3.      Pasien dapat menjelaskan tanda-tanda dan gejala-gejala yang perlu dilaporkan kepada dokter.

4.      Pasien dapat menjelaskan obat-obat yang didapat, meliputi : dosis, efek samping, efek yang diharapkan, cara pemberian dan waktunya.

5.      Pasien dapat menjelaskan tentang perawatan kulit dan hubungannya dengan radiasi.

6.      Pasien dapat menjelaskan rencana untuk perawatan tindak lanjut.

7.      Pasien dapat menjelaskan dan memperlihatkan latihan yang telah ditetapkan.

8.      Pasien dapat menjelaskan tentang bagaimana mendapat dukungan masyarakat.

9.      Pasien dapat menjelaskan tentang perawatan pre operasi dan pasca operasi.

10.  Pasien dapat mengungkapkan ketakutan-ketakutan mengenai hubungannya dengan diagnosa.

Pelaksanaannya

Metode umum untuk penatalaksanaan tumor otak meliputi :

·         Pembedahan

·         Radioterapi

·         Chemoterapi

Pemilihan terapi ditentukan dengan tipe dan letak dari tumor. Suatu kombinasi metode sering dilakukan.

Pembedahan

Pembedahan intracranial biasanya dilakukan untuk seluruh tipe kondisi patologi dari otak untuk mengurangi ICP dan mengangkat tumor.

Pembedahan ini dilakukan melalui pembukaan tengkorak, yang disebut dengan Craniotomy.

Perawatan pre operasi pada pasien yang dilakukan pembedahan intra cranial adalah :

a)      Mengkaji keadaan neurologi dan psikologi pasien

b)      Memberi dukungan pasien dan keluarga untuk mengurangi perasaan-perasaan takut yang dialami.

c)      Memberitahu prosedur tindakan yang akan dilakukan untuk meyakinkan pasien dan mengurangi perasaan takut.

d)     Menyiapkan lokasi pembedahan, yaitu: kepala dengan menggunakan shampo antiseptik dan mencukur daerah kepala.

e)      Menyiapkan keluarga untuk penampilan pasien yang dilakukan pembedahan, meliputi :

·         Baluatan kepala

·         Edema dan ecchymosis yang biasanya terjadi dimuka

·         Menurunnya status mental sementara

Perawatan post operasi, meliputi :

a)      Mengkaji status neurologi dan tanda-tanda vital setiap 30 menit untuk 4 - 6 jam pertama setelah pembedahan dan kemudian setiap jam. Jika kondisi stabil pada 24 jam frekuensi pemeriksaan dapat diturunkan setiap 2 samapai 4 jam sekali.

b)      Monitor adanya cardiac arrhytmia pada pembedahan fossa posterior akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

c)      Monitor intake dan output cairan pasien. Batasi intake cairan sekitar 1.500 cc / hari.

d)     Lakukan latihan ROM untuk semua ekstremitas setiap pergantian dinas.

e)      Pasien dapat dibantu untuk alih posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam.

f)       Posisi kepala dapat ditinggikan 30 -35 derajat untuk meningkatkan aliran balik dari kepala. Hindari fleksi posisi panggul dan leher.

g)      Cek sesering mungkin balutan kepala dan drainage cairan yang keluar.

h)      Lakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin, seperti : pemeriksaan darah lengkap, serum elektroit dan osmolaritas, PT, PTT, analisa gas darah.

i)        Memberikan obat-obatan sebagaimana program, misalnya : antikonvulsi,antasida, atau antihistamin reseptor, kortikosteroid.

j)        Melakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi post operasi.

Hydrocephalus

Biasanya suatu kateter diletakan pada suatu ventrikel dari otak untuk mengalirkan cairan spinal yang berlebihan dan untuk mencegah hydrocephalus dan penigkatan TIK.

Hydrocephalus dapat juga terjadi secara permanen pada tumor intracranial dan biasanya dimanifestasikan dengan gejala-gejala peningkatan TIK. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan “Shunting”

Ada beberapa tipe dari prosedur shunnting, hal ini dapat dinamakan menurut asal dan akhir pada shunt tersebut dipasang. Diantaranya adalah :

·         Cyst - peritoneal

·         Lumbar - Peritoneal

·         Ventrikuler - Jugular

·         Ventrikuler - Peritoneal

Perawatan post opeasi pada pasien dengan shunt adalah :

Monitoring

·         Mengkaji status neurologis sesering mungkin untuk beberpa penurunan dalam status mental.

·         Observasi adanya gejala-gejala subdural hematoma, yang merupakan salah satu efek sampaing pembedahan.

·         Monitor gejala-gejala aliran yang berlebihan, sebagaimana dirasakan dengan sakit kepala, khususnya pada saat pasien duduk lebih tinggi atau berdiri.

·         Mengkaji derajat dan karakter dari drainage.

Mempertahankan status gastrointestinal

·         Mengecek sesering mungkin untuk tanda-tanda dari paralisis ileus, karena manipulasi usus besar dapat terjadi akibat diletakkan shunt pada bagian peritoneal.

·         Pasien dipuasakan untuk hari pertama dan kemudian dpaat diberikan air putih secara bertahap.

·         Pemberian makanan dapat dimulai segera setelah bising usus ada, dimana pasien mulai makan cair.

Pertahankan rasa nyaman

·         Memberikan obat-obatan untuk mengurangi rasa nyeri

·         Memperhatikan agar tidak tertekan daerah insisi.

Meningkatkan pergerakan

·         Pergantian posisi  dapat dilakukan.

·         Meningkatkan bagian kepala temapat tidur secara perlahan-lahan pada saat mobilisasi

·         Pasien dapat dianjurkan untuk ambulasi segera setelah penurunan tekanan intracranial.

Komplikasi post operasi

1.      Edema cerebral

2.      Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral

3.      Hypovolemik syok

4.      Hydrocephalus

5.      Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)

6.      Infeksi luka operasi.



DAFTAR PUSTAKA

·         Ignatavicius D Donna, Medical Surgical Nursing, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1991

·         Long C. Barbara, Essential of Medical Surgical Nursing, CV. Mosby Company, St. Louis, 1985

·         Vogt Gordon. Manual of Neurological Care, CV. Mosby Company, St Louis, 1985

 
Defenisi
              Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis.

Patofisiologi

            Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir melalui sub arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan subarachnoid.

            Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melaui aliran darah di dalam pembuluh darah otak. Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel. Eksudat yang dibentuk akan menyebar, baik ke kranial maupun ke saraf spinal yang dapat menyebabkan kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan sumbatan aliran normal cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus.

Etiologi

            Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme, tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sum-sum tulang belakang. Seperti disebutkan diatas bahwa meningitis itu disebabkan oleh virus dan bakteri, maka meningitis dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : meningitis purulenta dan meningitis serosa.

Meningitis Bakteri

            Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah haemofilus influenza, Nersseria,Diplokokus pnemonia, Sterptokokus group A, Stapilokokus Aurens, Eschericia colli, Klebsiela dan Pseudomonas. Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

Meningitis Virus

            Tipe dari meningitis ini sering disebut aseptik meningitis. Ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti; gondok, herpez simplek dan herpez zoster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh koteks cerebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respon dari jaringan otak terhadap virus bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.

Pencegahan

            Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.

Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius.

Pengkajian Pasien dengan meningitis

Riwayat penyakit dan pengobatan

            Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Setelah itu yang perlu diketahui adalah status kesehatan masa lalu untuk mengetahui adanya faktor presdiposisi seperti infeksi saluran napas, atau fraktur tulang tengkorak, dll.

Manifestasi Klinik

·           Pada awal penyakit, kelelahan, perubahan daya mengingat, perubahan tingkah laku.

·           Sesuai dengan cepatnya perjalanan penyakit pasien menjadi stupor.

·           Sakit kepala

·           Sakit-sakit pada otot-otot

·           Reaksi pupil terhadap cahaya. Photofobia apabila cahaya diarahkan pada mata pasien

·           Adanya disfungsi pada saraf III, IV, dan VI

·           Pergerakan motorik pada masa awal penyakit biasanya normal dan pada tahap lanjutan bisa terjadi hemiparese, hemiplegia, dan penurunan tonus otot.

·           Refleks Brudzinski dan refleks Kernig (+) pada bakterial meningitis dan tidak terdapat pada virus meningitis.

·           Nausea

·           Vomiting

·           Demam

·           Takikardia

·           Kejang yang bisa disebabkan oleh iritasi dari korteks cerebri atau hiponatremia

·           Pasien merasa takut dan cemas.

Pemeriksaan Laboratorium

            Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa.

Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal.

            Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.

Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.

Pemeriksaan Radiografi

            CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.

Pengobatan

Pengobatab biasanya diberikan antibiotik yang paling sesuai.

Untuk setiap mikroorganisme penyebab meningitis :

Antibiotik               Organisme

Penicilin G              Pneumoccocci             Terapi TBC                       Micobacterium Tuber culosis
                              Meningoccocci        ·  Streptomicyn
                               Streptoccocci          ·  INH
                                                             ·  PAS

Gentamicyn                Klebsiella
                               Pseudomonas
                                    Proleus

Chlorampenikol            Haemofilus                                    Influenza
Diagnosa Keperawatan

1.         Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan

·           Pasien kembali pada,keadaan status neurologis sebelum sakit

·           Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris

Kriteria hasil

·           Tanda-tanda vital dalam batas normal

·           Rasa sakit kepala berkurang

·           Kesadaran meningkat

·           Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.

INTERVENSI

  • Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
    R/ Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
  • Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
    R/ Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt
  • Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik
    R/ Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
  • Monitor intake dan output
    R/ hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadra, nausea yang menurunkan intake per oral
  • Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
    R/ Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava

    Kolaborasi
  • Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
    R/ Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema cerebral
  • Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen
    R/ Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
  • Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika.
    R/ Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler, Menurunkan edema serebri, Menurunkan metabolik sel / konsumsi dan kejang.

2.         Sakit kepala berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak

Tujuan

Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol

Kriteria evaluasi

·           Pasien dapat tidur dengan tenang

·           Memverbalisasikan penurunan rasa sakit.

INTERVENSI

Independent
  • Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
    R/ Menurukan reaksi terhadap rangsangan ekternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien untuk beristirahat
  • Kompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata
    R/ Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak
  • Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati
    R/ Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit / disconfort
Kolaborasi
  • Berikan obat analgesik
    R/ Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. Catatan : Narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurologis sehingga sukar untuk dikaji.

3.         Resiko terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran

Tujuan:

Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran

INTERVENSI

Independent
  • monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
    R/ Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
  • Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien.
    R/ Melindungi pasien bila kejang terjadi
  • Pertahankan bedrest total selama fae akut
    R/ Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
  • Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
    R/ Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
    "Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi."

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8, EGC, Jakarta.

Brunner / Suddarth., (1984). Medical Surgical Nursing, JB Lippincot Company, Philadelphia.

Depkes RI. (1996). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Diknakes, Jakarta.

Donnad. (1991). Medical Surgical Nursing. WB Saunders.

Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3, EGC, Jakarta.

Harsono. (1996). Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Harsono. (2000). Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudak C.M.,Gallo B.M. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.

Ignatavicius D.D., Bayne M.V. (1991). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Ignatavicius D.D., Workman M.L., Mishler M.A. (1995). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach. 2nd  edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Juwono, T. (1996). Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. EGC, Jakarta.

Lismidar, (1990). Proses Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Mardjono M., Sidharta P. (1981). Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat, Jakarta.

Price S.A., Wilson L.M.  (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.

Satyanegara. (1998). Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

               (1982). Kapita Selekta Kedokteran FKUI, Media Aesculapius.

 
A.       Defenisi 
 Merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi CSF berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid.

Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya liquor.

Beberapa type hydrocephalus berhubungan dengan kenaikan tekanan intrakranial.

3 (Tiga) bentuk umum hydrocephalus :

    1. Hidrocephalus Non – komunikasi (nonkommunicating hydrocephalus)
Biasanya diakibatkan obstruksi dalam system ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSF.

Kondisi tersebut sering dijumpai pada orang  lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada system saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka.

Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi lesi pada system ventricular atau bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di dalam system ventricular.

Pada klien dengan garis sutura yag berfungsi atau pada anak – anak dibawah usia 12 – 18 bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai ekstrim, tanda – tanda dan gejala – gejala kenaikan ICP dapat dikenali. Pada anak – anak yang garis suturanya tidak bergabung terdapat pemisahan / separasi garis sutura dan pembesaran kepala.


       2.    Hidrosefalus Komunikasi (Kommunicating hidrocepalus)
Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSF tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSF terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan ICP)


     3.    Hidrosefalus Bertekan Normal (Normal Pressure Hidrocephalus)
Di tandai pembesaran sister basilar dan fentrikel disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi atrofi serebral.

Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala – gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi ; dimentia, ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau thrombosis, mengitis; pada beberapa kasus (Kelompok umur 60 – 70 tahun) ada kemingkinan ditemukan hubungan tersebut.

B.       Fisiologi Cairan Cerebro Spinalis
 a.       Pembentukan CSF

Normal CSF diproduksi +  0,35 ml / menit  atau 500 ml / hari dengan demikian  CSF di perbaharui  setiap  8 jam.

Pada anak dengan hidrosefalus, produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF di bentuk oleh PPA;

1). Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar)

2). Parenchym otak

3). Arachnoid

b.       Sirkulasi CSF

Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata CSF mengalir dari tempat pembentuknya ke tempat ke tempat absorpsinya. CSF mengalir dari II ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro ke dalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen Lusckha CSF mengalir cerebello pontine  dan cisterna prepontis. Cairan yang keluar dari foramen  Magindie menuju cisterna magna. Dari sini mengalir kesuperior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke cranial menuju cisterna infra tentorial.Melalui cisterna  di supratentorial dan kedua hemisfere  cortex cerebri.

Sirkulasi berakhir di sinus Doramatis di mana terjadi absorbsi  melalui villi arachnoid.

C.       Patofisiologi Jika terdapat obstruksi pada system ventrikuler atau pada ruangan subarachnoid, ventrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal. White mater dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang tipis. Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehingga walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray matter tidak mengalami gangguan. Proses dilatasi itu dapat merupakan proses yang tiba – tiba / akut dan dapat juga selektif tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu merupakan kasus emergency. Pada bayi dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan melebar untuk mengakomodasi peningkatan massa cranial. Jika fontanela anterior tidak tertutup dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada perabaan.Stenosis aquaductal (Penyakit keluarga / keturunan yang terpaut seks) menyebabkan titik pelebaran pada ventrikel laterasl dan tengah, pelebaran ini menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu penampakan dahi yang menonjol secara dominan (dominan Frontal blow). Syndroma dandy walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada foramina di luar pada ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol memenuhi sebagian besar  ruang dibawah tentorium. Klein dengan type hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran cerebrum yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara disproporsional.

Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan gejala : Kenailkan ICP sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat membesar. Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada hidrosephalus tidak komplit. CSF melebihi kapasitas normal sistim ventrikel tiap 6 – 8 jam dan ketiadaan absorbsi total akan menyebabkan kematian.

Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma normal yang pada didning rongga memungkinkan  kenaikan absorpsi. Jika route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih lanjut maka akan terjadi keadaan kompensasi.

D.       Etiologi dan Patologi Hydrosephalus dapat disebabkan oleh kelebihan atau tidak cukupnya penyerapan CSF pada otak atau obstruksi yang muncul mengganggu sirkulasi CSF di sistim ventrikuler. Kondisi diatas pada bayi dikuti oleh pembesaran kepala. Obstruksi pada lintasan yang sempit (Framina Monro, Aquaductus Sylvius, Foramina Mengindie dan luschka ) pada ventrikuler menyebabkan hidrocephalus yang disebut : Noncomunicating (Internal Hidricephalus)

Obstruksi biasanya terjadi pada ductus silvius di antara ventrikel ke III dan IV yang diakibatkan perkembangan yang salah, infeksi atau tumor sehingga CSF tidak dapat bersirkulasi dari sistim ventrikuler ke sirkulasi subarahcnoid  dimana secara normal akan diserap ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan ventrikel lateral dan ke III membesar dan terjadi kenaikan ICP.

Type lain dari hidrocephalus disebut : Communcating (Eksternal Hidrocephalus) dmana sirkulasi cairan dari sistim ventrikuler ke ruang subarahcnoid tidak terhalangi, ini mungkin disebabkan karena  kesalahan absorbsi cairan oleh  sirkulasi vena. Type hidrocephalus terlihat bersama – sama dengan malformasi cerebrospinal sebelumnya.

E.       Tanda dan Gejala Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi.

Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya.

Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.

Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela.

Ventirkulogram menunjukkan  pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan  sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional.

Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik.

F.        Diagnosis §  CT Scan

§  Sistenogram radioisotop dengan scan .

G.       Perlakuan §  Prosedur pembedahan jalan pintas (ventrikulojugular, ventrikuloperitoneal) shunt

§  Kedua prosedur diatas membutuhkan katheter yang dimasukan kedalam ventrikel lateral : kemudian catheter tersebut dimasukan kedalasm  ujung terminal tube  pada vena jugular atau peritonium diaman akan terjadi absorbsi kelebihan CSF.

H.       Penatalaksanaan Perawatan Khusus Hal – hal yang harus dilakukan dalam rangka penatalaksanaan post – operatif dan penilaian neurologis adalah sebagai berikut :

1)      Post – Operatif : Jangan menempatkan klien pada posisi operasi.

2)    Pada beberapa pemintasan, harus diingat bahwa terdapat katup (biasanya terletak pada tulang mastoid) di mana dokter dapat memintanya di pompa.

3)    Jaga teknik aseptik yang ketat pada balutan.

4)    Amati adanya kebocoran disekeliling balutan.

5)    Jika status neurologi klien tidak memperlihatkan kemajuan, patut diduga adanya adanya kegagalan operasi (malfungsi karena kateter penuh);gejala dan tanda yang teramati dapat berupa peningkatan ICP.

Hidrocephalus pada Anak atau Bayi

Pembagian :

     Hidrosephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dapat di bagi dua (2 ) ;

1.      Kongenital

Merupakan Hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, sehingga ;

-     Pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil

-     Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.

2.      Di dapat

Bayi atau anak mengalaminya pada saat  sudah besar, dengan penyebabnya adalah penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.

Pada hidrosefalus di dapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial.Sehingga  perbedaan hidrosefalus kongenital denga di dapat terletak pada pembentukan otak dan pembentukan otak  dan kemungkinan prognosanya..

Penyebab sumbatan ;

Penyebab sumbatan aliran CSF yang sering terdapat pada bayi dan anak – anak ;

1.      Kelainan kongenital

2.      Infeksi di sebabkan oleh perlengketan meningen akibat infeksi dapat terjadi pelebaran ventrikel  pada masa akut ( misal ; Meningitis )

3.      Neoplasma

4.      Perdarahan , misalnya perdarahan otak sebelum atau sesudah lahir.

Berdasarkan letak obstruksi CSF hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagianyaitu :

1.      Hidrosefalus komunikan

Apabila obstruksinya terdapat pada rongga subaracnoid, sehingga  terdapat aliran bebas CSF dal;am sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan.

2.      Hidrosefalus non komunikan

Apabila obstruksinya terdapat terdapat didalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSF.

Biasanya gangguan yang terjadi pada hidrosefalus kongenital adalah pada sistem vertikal sehingga terjadi bentuk hidrosefalus non komunikan.

Manifestasi klinis

1.      Bayi ;

-          Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.

-          Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.

-          Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial;

·         Muntah

·         Gelisah

·         Menangis dengan suara ringgi

·         Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor.

-          Peningkatan tonus otot ekstrimitas

-          Tanda – tanda fisik lainnya ;

·         Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas.

·         Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah – olah di atas iris.

·         Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”

·         Strabismus, nystagmus, atropi optik.

·         Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.

2.      Anak yang telah menutup suturanya ;

Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial :

-          Nyeri kepala

-          Muntah

-          Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas

-          Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun.

-          Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer

-          Strabismus

-          Perubahan pupil.

ASUHAN KEPERAWATAN

1.      PENGKAJIAN

1.1  Anamnese

1)      Riwayat penyakit / keluhan utama

Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer.

2)      Riwayat Perkembangan

Kelahiran : prematur. Lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir menangis keras atau tidak.

Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku.

Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur.

Keluhan sakit perut.

1.2  Pemeriksaan Fisik

1)      Inspeksi :

§  Anak dapat melioha keatas atau tidak.

§  Pembesaran kepala.

§  Dahi menonjol dan mengkilat. Sertas pembuluh dara terlihat jelas.

2)      Palpasi

§  Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar.

§  Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela anterior sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.

3)      Pemeriksaan Mata

§  Akomodasi.

§  Gerakan bola mata.

§  Luas lapang pandang

§  Konvergensi.

§  Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas.

§  Stabismus, nystaqmus, atropi optic.

1.3  Observasi Tanda –tanda vital

Didapatkan data – data sebagai berikut :

§  Peningkatan sistole tekanan darah.

§  Penurunan nadi / Bradicardia.

§  Peningkatan frekwensi pernapasan.

1.4  Diagnosa Klinis :

§  Transimulasi kepala bayi yang akan menunjukkan tahap dan lokalisasi dari pengumpulan cairan banormal. ( Transsimulasi terang )

§  Perkusi tengkorak kepala bayi akan menghasilkan bunyi “ Crakedpot “ (Mercewen’s  Sign)

§  Opthalmoscopy : Edema Pupil.

§  CT Scan Memperlihatkan (non – invasive) type hidrocephalus dengan nalisisi komputer.

§  Radiologi : Ditemukan Pelebaran sutura, erosi tulang intra cranial.

2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN

2.1  Pre Operatif

1)      Gangguan rasa nyaman:  Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya tekanan intrakranial .

Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah,  kepala membesar

Tujuan ;  Klien akan mendapatkan kenyamanan, nyeri kepala berkurang

Intervensi :

§  Jelaskan Penyebab nyeri.

§  Atur posisi Klien

§  Ajarkan tekhnik relaksasi

§  Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian Analgesik

§  Persapiapan operasi

 

2)      Kecemasan Orang tua sehubungan dengan keadaan anak yang akan mengalami operasi.

Data Indikasi : Ekspresi verbal menunjukkan kecemasan akan keadaan anaknya.

Tujuan : Kecemasan orang tua berkurang atau dapat diatasi.

Intervensi :

§  Dorong orang tua untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam merawat anaknya.

§  Jelaskan pada orang tua tentang masalah anak terutama ketakutannya menghadapi operasi otak dan ketakutan terhadap kerusakan otak.

§  Berikan informasi yang cukup tentang prosedur operasi dan berikan jawaban dengan benar dan sejujurnya serta hindari kesalahpahaman.

3)      Potensial Kekurangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan  intake yang kurang diserta muntah.

Data Indikasi ; keluhan Muntah, Jarang minum.

Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan dan elektrolit.

Intervensi :

§  Kaji tanda – tanda kekurangan cairan

§  Monitor Intake dan out put

§  Berikan therapi cairan secara intavena.

§  Atur jadwal  pemberian cairan  dan  tetesan infus.

§  Monitor tanda – tanda vital.

 

2.2   Post – Operatif.

1)      Gangguan rasa nyaman : Nyeri sehubungan dengan tekanan pada kulit yang dilakukan shunt.

Data Indikasi ; adanya keluhan nyeri, Ekspresi non verbal adanya nyeri.

Tujuan : Rasa Nyaman Klien akan terpenuhi, Nyeri berkurang

Intervensi :

§  Beri kapas secukupnya dibawa telinga yang dibalut.

§  Aspirasi shunt (Posisi semi fowler), bila harus memompa shunt, maka pemompaan dilakukan perlahan – lahan dengan interval yang telah ditentukan.

§  Kolaborasi dengan tim medis bila ada kesulitan dalam pemompaan shunt.

§  Berikan posisi yang nyama. Hindari posisi p[ada tempat dilakukan shunt.

§  Observasi tingkat kesadaran dengan memperhatikan perubahan muka (Pucat, dingin, berkeringat)

§  Kaji orisinil nyeri : Lokasi dan radiasinya.

 

2)      Resiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake yang tidak adekuat.

Data Indikasi ; Adanya keluhan kesulitan dalam mengkonsumsi makanan.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan nutrisil.

Intervensi :

§  Berikan makanan lunak tinggi kalori tinggi protein.

§  Berikan klien makan dengan posisi semi fowler dan berikan waktu yang cukup untuk menelan.

§  Ciptakan suasana lingkungan yang nyaman dan terhindar dari bau – bauan yang tidak enak.

§  Monitor therapi secara intravena.

§  Timbang berta badan bila mungkin.

§  Jagalah kebersihan mulut ( Oral hygiene)

§  Berikan makanan ringan diantara waktu makan.

 

3)      Resiko tinggi terjadinya infeksi sehubungan dengan infiltrasi bakteri melalui shunt.

Tujuan : Tidak terjadi infeksi / Klien bebas dari infeksi.

Intervensi :

§  Monitor terhadap tanda – tanda infeksi.

§  Pertahankan tekhnik kesterilan dalam prosedur perawatan

§  Cegah terhadap terjadi gangguan suhu tubuh.

§  Pertahanakan prinsiup aseptik pada drainase dan ekspirasi shunt.

 

4)      Resiko tinggi terjadi kerusakan integritas kulit dan kontraktur sehubungan dengan imobilisasi.

Tujuan ; Pasien bebas dari kerusakan integritas kulit dan kontraktur.

Intervensi :

§  Mobilisasi klien (Miki dan Mika) setiap 2 jam.

§  Obsevasi terhadap tanda – tanda kerusakan integritas kulit dan kontrkatur.

§  Jasgalah kebersihan dan kerapihan tempat tidur.

§  Berikan latihan secara pasif dan perlahan – laha

 
A.     Pengertian

HNP adalah Suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik dikolumna vertebralis pada diskus intervertebralis (diskogenik) (Harsono, 1996)

HNP adalah keadaan dimana nukleus pulposus keluar menonjol untuk kemudia menekan ke arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosis yang robek.

B.     Etiologi

HNP terjadi karena proses degenratif diskus intervetebralis

C.     Insiden

Angka kejadi dan kesakitan banyak terjadi pada usia pertengahan. Pada umumnya HNP didahului oelh aktiivtas yang berlebihan, misalnya mengangkat beban berat (terutama mendadak) mendorong barang berat. Laki—laki lebih banyak dari pada wanita

D.    gejala

Gejala utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan .

HNP terbagi atas :

1.      HNP sentral

HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine

2.      HNP lateral

Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah abtra pantat dan betis, belakang tumit dan telapak kaki.Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang terkena  menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus (straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif). Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .

E.     patofisiologi

Pada umumnya HNP didahului oeleh aktiivta syang berat dengan keluahan utamanya adalah nyeri di punggung bawah disertai nyeri otot sekitar lesi dan nyeri tekan . Hal ini desebabkan oleh spasme otot-otot tersebut dan spasme menyebabkan mengurangnya lordosis lumbal dan terjadi skoliosis.

F.     Penatalaksanaan

1.      Terapi konservatif

a.      Tirah baring

Penderita hrus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan sikap yang baik adalah sikap  dalam posisi setengah duduk dimana tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul dan lutut. tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas/per dengan demikina tempat tidur harus dari papan yang larus dan diutu[ dengan lembar busa tipis. Tirah baring bermanfaat untuk nyeri punggung bawah mekanik akut. Lama tirah baring tergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan penderita. Pada HNP memerlukan waktu yang lebih lama.  Setelah berbaring dianggp cukup maka dilakukan latihan / dipasang korset  untuk mencegah terjadinya kontraktur dan mengembalikan lagi fungsi-fungsi otot.

b.     Medikamentosa

1.  Symtomatik

Analgetik (salisilat, parasetamol), kortikosteroid (prednison, prednisolon), anti-inflamasi non-steroid (AINS) seperti piroksikan, antidepresan trisiklik ( amitriptilin), obat penenang minor (diasepam, klordiasepoksid).

2.  Kausal

Kolagenese

c.      Fisioterapi

Biasanya dalam bentuk diatermy (pemanasan dengan jangkauan permukaan yang lebih dalam) untuk relaksasi otot dan mengurnagi lordosis.

2.      Terapi operatif

Terapi operatif dikerjakan apabila dengan tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, kambuh berulang atau terjadi defisit neurologik

3.      Rehabilitasi

a.       Mengupayakan penderita segera bekerja seperti semula

b.      Agar tidak menggantungkan diri pada orang lain dalam melakkan kegiatan sehari-hari (the activity of daily living)

c.       Klien tidak mengalami komplikasi pneumonia, infeksi saluran kencing dan sebagainya).

II.   konsep keperawatan

A.    Pengkajian

1.      Identitas

HNP terjadi pada umur pertengahan, kebanyakan pada jenis kelamin pria dan pekerjaan atau aktivitas berat (mengangkat baran berat atau mendorong benda berat)

2.      Keluahan Utama

Nyeri pada punggung bawah

P, trauma (mengangkat atau mendorong benda berat)

Q, sifat nyeri seperti ditusuk-tusuk atau seperti disayat, mendenyut, seperti kena api, nyeri tumpul atau kemeng yang terus-menerus. Penyebaran nyeri apakah bersifat nyeri radikular atau nyeri acuan (referred fain). Nyeri tadi bersifat menetap, atau hilang timbul, makin lama makin  nyeri .

R, letak atau lokasi nyeri menunjukkan nyeri dengan setepat-tepatnya sehingga letak nyeri dapat diketahui dengan cermat.

S, Pengaruh posisi tubuh atau atau anggota tubuh berkaitan dengan aktivitas tubuh, posisi yang bagaimana yang dapat meredakan rasa nyeri dan memperberat nyeri. Pengaruh pada aktivitas yang menimbulkan rasa nyeri seperti berjalan, turun tangga, menyapu, gerakan yang mendesak. Obat-oabata yang ssedang diminum seperti analgetik, berapa lama diminumkan.

T Sifanya akut, sub akut, perlahan-lahan atau bertahap, bersifat menetap, hilng timbul, makin lama makin nyeri.

3.      Riwayat Keperawatan

a.       Apakah klien pernah menderita Tb tulang, osteomilitis, keganasan (mieloma multipleks), metabolik (osteoporosis)

b.      Riwayat menstruasi, adneksitis dupleks kronis, bisa menimbulkan nyeri punggung bawah

4.      Status mental

Pada umumny aklien menolak bila langsung menanyakan tentang banyak pikiran/pikiran sedang (ruwet). Lebih bijakasana bila kita menanyakan kemungkinan adanya ketidakseimbangan mental secara tidak langsung (faktor-faktor stres)

5.      Pemeriksaan

    1. Pemeriksaan Umum
Ø  Keadaan umum

ü  pemeriksaan tanda-tanda vital, dilengkapi pemeriksaan jantung, paru-paru, perut.

ü  Inspeksi

-          inspeksi punggung, pantat dan tungkai dalam berbagai posisi dan gerakan untuk evalusi neyurogenik

-          Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal,adanya angulus, pelvis ya ng miring/asimitris, muskulatur paravertebral atau  pantat yang asimetris, postur tungkai yang abnormal.

-          Hambatan pada pegerakan punggung , pelvis dan tungkai selama begerak.

-          Klien dapat menegenakan pakaian secara wajar/tidak

-          Kemungkinan adanya atropi, faskulasi, pembengkakan, perubahan warna kulit.

ü  palpasi dan perkusi

-          paplasi dan perkusi harus dikerjakan dengan hati-hati atau halus sehingga tidak membingungkan klien

-          Paplasi pada daerah yang ringan rasa nyerinya ke arah yang paling terasanyeri.

-          Ketika meraba kolumnavertebralis dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau antero-posterior

-          Palpasi dna perkusi perut, distensi pewrut, kandung kencing penuh dll.

Ø  Neuorologik

ü  Pemeriksaan motorik

-          Kekuatan fleksi dan ekstensi tungkai atas, tungkai bawah, kaki, ibu jari dan jari lainnya dengan menyuruh klien unutk melakukan gerak fleksi dan ekstensi dengan menahan gerakan.

-          atropi otot pada maleolus atau kaput fibula dengan membandingkan kanan-kiri.

-          fakulasi (kontraksi involunter yang bersifat halus) pada otot-otot tertentu.

ü  Pemeriksan sensorik

Pemeriksaan rasa raba, rasa sakit, rasa suhu, rasa dalam dan rasa getar (vibrasi) untuk menentukan dermatom mana yang terganggu sehingga dapat ditentuakn pula radiks mana yang terganggu.

ü  pemeriksaan refleks

-          refleks lutut /patela/hammer (klien bebraring.duduk dengan tungkai menjuntai), pada HNP lateral di L4-5 refleks negatif.

-          Rfleks tumit.achiles (klien dalam posisi berbaring , luutu posisi fleksi, tumit diletakkan diatas tungkai yang satunya dan ujung kaki ditahan dalam posisi dorsofleksi ringan, kemudian tendon achiles dipukul. Pada aHNP lateral 4-5 refleks ini negatif.

ü  Pemeriksaan range of movement (ROM)

Pemeriksaan ini dapat dilakukan aktif atau pasif untuk memperkirakan derajat nyeri, functio laesa, atau untuk mememriksa ada/tidaknya penyebaran nyeri.


       2.   Pemeriksaan penunjang

Ø  foto rontgen, Foto rontgen dari depan, samping, dan serong) untuk identifikasi ruang antar vertebra menyempit. Mielografi adalah pemeriksaan dengan bahan kontras melalu tindakan lumbal pungsi dan pemotrata dengan sinar tembus. Apabila diketahiu adanya penyumbatan.hambatan kanalis spinalis yang mungkin disebabkan HNP.

Ø  Elektroneuromiografi (ENMG)

Untuk menegetahui radiks mana yang terkena / melihat adanya polineuropati.

Ø  Sken tomografi

Melihat gambaran vertebra dan jaringan disekitarnya termasuk diskusi intervertebralis.

6.      Penatalaksanaan

(lihat pada landsan teori)

 

7.      Dignosa keperawatan

 

       Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah pasien yang nyata ataupun potensial dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah pasien dapat ditanggulangi atau dikurangi. (Lismidar, 1990)

1)      Nyeri berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervetebralis

2)      Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi

3)      Perubahan  mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia

4)      Perubahan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat

5)      Kurangnya pemenuhan perawatan diri yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi

6)      Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama 

B.  Perencanaan
  1. Perubahan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan dampak penjepitan saraf pada radiks intervertebralis

Tujuan :

Nyeri berkurang atau rasa nyaman terpenuhi

Kriteria :

-       Klien mengatakan tidak terasa nyeri.

-       lokasi nyeri minimal

-       keparahan nyeri berskala 0

-       Indikator nyeri verbal dan noverbal  (tidak menyeringai)

INTERVENSI

Identifikasi klien dalam membantu menghilangkan rasa nyerinya
      R/   Pengetahuan yang mendalam tentang nyeri dan kefektifan tindakan penghilangan nyeri.

Berikan informasi tentang penyebab dan cara mengatasinya
      R/   Informasi mengurangi ansietas yang berhubungan dengan sesuatu yang diperkirakan.

Tindakan penghilangan rasa nyeri noninvasif dan nonfarmakologis (posisi, balutan (24-48 jam), distraksi dan relaksasi.
      R/   Tindakan ini memungkinkan klien untuk mendapatkan rasa kontrol terhadap nyeri.

Terapi analgetik
      R/   Terapi farmakologi diperlukan untuk memberikan  peredam nyeri.

2. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi,.

Tujuan :  Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.

Kriteria hasil :

T   Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.

T   Respon klien tampak tersenyum.

INTERVENSI

1.      Diskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi gerak untuk mempertahankan harapan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari

2.      Berikan informasi mengenai klien yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien danmenjalani operasi

3.      Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien

4.      Berikan support sistem (perawat, keluarga atau teman dekat dan pendekatan spiritual)

5.      Reinforcement terhadap potensi dan sumber yang dimiliki berhubungan dengan penyakit, perawatan dan tindakan

RASIONAL
1.      Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.

2.      Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan,  justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.

3.      Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.

4.      Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.

5.      Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.

3. Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia

Tujuan :

Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya

Kriteria hasil

-          Tidak terjadi kontraktur sendi

-          Bertabahnya kekuatan otot

-          Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas

INTERVENSI


a)      Ubah posisi klien tiap 2 jam

b)      Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang tidak sakit

c)      Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit

d)     Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien

RASIONAL
a)      Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan

b)      Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan

c)        Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan


4. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi, nyeri

Tujuan

Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi

Kriteria hasil

-          Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan klien

-          Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan

INTERVENSI

a.       Monitor kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri

b.      Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh

c.       Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan

d.      Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya

e.       Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi

RASIONAL
a.      Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual

b.     Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus

c.      Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk emepertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan

d.     Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu

e.      Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus


5. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubngan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat

Tujuan

Klien tidak mengalami kopnstipasi

Kriteria hasil

-          Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat

-          Konsistensifses lunak

-          Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )

-          Bising usus normal ( 15-30 kali permenit )
INTERVENSI

a)      Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi

b)      Auskultasi bising usus

c)      Anjurkan pada klien untuk makan maknanan yang mengandung serat

d)     Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi

e)      Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien

f)       Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laxatif, suppositoria, enema)

RASIONAL
a.           Klien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi

b.          Bising usu menandakan sifat aktivitas peristaltik

c.           Diit seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi reguler

d.          Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler

e.           Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus oto abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik

f.           Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan massa feses dan membantu eliminasi


6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama

Tujuan

  Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit

Kriteria hasil

-          Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka

-          Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka

-          Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka

INTERVENSI

a.   Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin

b.   Rubah posisi tiap 2 jam

c.   Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol

d.  Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi

e.   Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi 

f.    Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit

RASIONAL
a.       Meningkatkan aliran darah kesemua daerah

b.      Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah

c.       Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol

d.      Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler

e.       Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan

f.       Mempertahankan keutuhan kulit

DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC, Jakarta.

Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudak C.M.,Gallo B.M.,1996, Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.

Ignatavicius D.D., Bayne M.V., 1991, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Juwono, T., 1996, Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek, EGC, Jakarta.

Mardjono M., Sidharta P., 1981, Neurologi Klinis Dasar, PT Dian Rakyat, Jakarta.

Satyanegara, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
 
A. Pengertian
Encephalitis adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak tipe-tipe dari encephalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari otak.
Encephalitis adalah infeksi jaringan atas oleh berbagai macam mikroorganisme (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). 
Encephalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang non purulen (+) (Pedoman diagnosis dan terapi, 1994).
Encephalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Kapita selekta kedokteran jilid 2, 2000)

B. Etiologi
1. Mikroorganisme: bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus.
Macam-macam encephalitis virus menurut Robin :
a. Infeksi virus yang bersifat epidermik:
1) Golongan enterovirus = poliomyelitis, virus coxsackie, virus ECHO.
2) Golongan virus ARBO = western equire encephalitis, St. louis encephalitis, Eastern equire encephalitis, Japanese B. encephalitis, Murray valley encephalitis.
b. Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes zoster, limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap disebabkan olehvirus tetapi belum jelas.
c. Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
2. Reaksi toxin seperti pada thypoid fever, campak, chicken pox.
3. Keracunan: arsenik, CO.

C. Tanda dan Gejala
Gejala-gejala dari encephalitis termasuk demam yang tiba-tiba, sakit kepala, muntah, kepekaan penglihatan pada sinar, leher dan punggung yang kaku, kebingungan, keadaan mengantuk, kecanggungan, gaya berjalan yang tidak mantap, dan mudah terangsang. Kehilangan kesadaran, kemampuan reaksi yang buruk, serangan-serangan, kelemahan otot, demensia berat yang tiba-tiba dan kehilangan memori dapat juga ditemukan pada pasien-pasien dengan encephalitis.
1. Demam
2. Sakit kepala dan biasanya pada bayi disertai jeritan
3. Pusing
4. Muntah
5. Nyeri tenggorokan
6. Malaise
7. Nyeri ekstrimitas
8. Pucat
9. Halusinasi
10. Kaku kuduk
11. Kejang
12. Gelisah
13. Iritable
14. Gangguan kesadaran.


D. Patofisiologi


E. Pemeriksaan Diagnostik 
Encephalitis disarankan ketika gejala-gejala yang digambatkan di atas hadir. Dokter mendiagnosis encephalitis setelah melengkapi suatu sejarah yang menyeluruh (menanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan) dan pemeriksaan. Pemeriksaan termasuk pengaturan-pengaturan siasat khusus untuk mendeteksi tanda-tanda peradangan dari selaput-selaput yang mengelilingi otak dan berdasarkan pada sejarah dan pemeriksaan, dokter menyarankan tes-tes khusus untuk lebih lanjut membantu dalam menentukan diagnosis.
Tes-tes yang digunakan dalam mengevaluasi individu-individu yang dicurigai mempunyai encephalitis termasuk darah untuk tanda-tanda dari infeksi dan kemungkinan kehadiran dari bakteri-bakteri, scanning otak (seperti MRI scan) dan analisa cairan spinal.
Suatu lumbar puncture adalah metode yang paling umum untuk memperoleh suatu contoh dari cairan dalam spinal canal (cerebrospinal fluid atau CSF) untuk pemeriksaan. Suatu lembar puncture (LP) adalah pemasukan dari sebuah jarum ke dalam cairan di dalam spinal canal. Ia diistilahkan suatu “lumbar puncture” karena jarumnya masuk ke dalam bagian lumbar (bagian yang lebih bawah dari tulang belakang). Jarum melewati diantara bagian-bagian yang bertulang dari spine sampai ia mencapai cairan cerebral spinal. Suatu jumlah yang kecil dari cairan kemudian diambil dan dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan. Evaluasi dari cairan spinal biasanya adalah perlu untuk diagnosis yang pasti dan untuk membantu membuat keputusan-keputusan perawatan yang optimal (seperti pilihan antibiotik-antibiotik yang tepat).

1. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Warna dan jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200 sel dengan dominasi sel limfosit. Protein agak meningkat sedangkan glucose dalam batas normal.
2. Pemeriksaan EEG
Memperlihatkan proses inflamasi yang difuse “bilateral” dengan aktivitas rendah.
3. Pemeriksaan virus
Ditemukan virus pada CNS didapatkan kenaikan titer antibody yang spesifik terhadap virus penyebab.

F. Komplikasi
Dapat terjadi:
1. Akut
• Edema otak
• SIADH
• Status konvulsi.
2. Kronik
• Cerebral palsy
• Epilepsy
• Gangguan visual dan pendengaran.


G. Prognosis untuk Pasien-pasien dengan Encephalitis
Prognosis untuk encephalitis bervariasi. Beberapa kasus-kasus adalah ringan, singkat dan relatif tidak berbahaya dan pasien-pasien sembuh sepenuhnya. Kasus-kasus lain adalah parah dan perburukan yang permanen atau mungkin kematian. Ini biasanya ditentukan oleh tipe infeksi yang hadir. Tahap akut dari encephalitis mungkin berlangsung untuk satu sampai dua minggu, dengan resolusi (pemecahan) yang berangsur-angsur atau tiba-tiba dari demam dan gejala-gejala neurologikal. Gejala-gejala neurologikal mungkin meerlukan berbulan-bulan sebelum kesembuhan sepenuhnya. Beberapa pasien-pasien tidak akan pulih sepenuhnya.
Perawatan encephalitis:
Antibiotik-antibiotik dan obat-obat antivirus sangat dipertimbangkan ketika diagnosis dari encephalitis disarankan. Pada beberapa situasi-situasi, anticonvulsants digunakan untuk mencegah atau merawat serangan-serangan (epilepsi). Adakalanya corticosteroid diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan peradangan otak. Obat-obat penenang (sedatives)

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN ENCEPHALITIS

A. Pengkajian
Data-data yang diidentifikasikan masalah kesehatan yang dihadapi penderita, meliputi :
1. Biodata
Merupakan identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin, umur dan alamat dan kotor dapat mempercepat atau memperberat keadaan penyakit infeksi.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk rumah sakit, keluhan utama pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku kuduk, gangguan kesadaran, demam dan kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala tersebut berupa gelisah, iritable, scraening attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal beurpa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia dan paralisis saraf otak.
4. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenetal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena memperngaruhi sistem kekebalan terhaap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit, contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah lahir.
Contoh : BBLR, apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
5. Riwayat penyakit yang lalu
Kontak atau hubungan dengan kasus meningitis akan meningkatkan kemungkinan terjadinya peradangan atau infeksi pada jaringan otak (J.G. Chusid, 1993). Imunisasi perlu dikaji untuk mengetahui bagaimana kekebalan tubuh anak. Alergi pada anak perlu diketahui untuk dihindarkan karena dapat memperburuk keadaan.
6. Riwayat kesehatan keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang diderita. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular yang ada hubungannya dengan penyakit yang dialami oleh klien (Soemarno Marram, 19983).
7. Riwayat sosial
Lingkungan dan keluarga anak sangat mendukung terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Perjalanan klinik dari penyakit sehingga status mental, perilaku dan kepribadian. Perawat dituntut mengkaji status klien atau keluarga agar dapat memprioritaskan masalah keperawatannya (Ignataviius dan Bayne, 1991).
8. Kebutuhan dasar (aktivitas sehari-hari)
Pada penderita ensepatilitis sering terjadi gangguan pada kebiasaan sehari-hari antara lain : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena mual muntah, hipermetabolik akibat proses infeksi dan peningkatan tekanan intrakranial. Pola istirahat pada penderita sering kejang, hal ini sangat mempengaruhi penderita. Pola kebersihan diri harus dilakukan di atas tempat tidur karena penderita lemah atau tidka sadar dan cenderung tergantung pada orang lain, perilaku bermain perlu diketahui jika ada perubahan untuk mengetahui akibat hospitalisasi fisik.
9. Pemeriksaan fisik
Pada klien ensepalitis pemeriksaan fisik lebih difokuskan pada pemeriksaan neurologis. Ruang lingkup pengkajian fisik keperawatan secara umum meliputi :
a. Keadaan umum
Penderita biasanya keadaan umumnya lemah karena mengalami peruibahan atau penurunan tingkat kesadaran. Gangguan tingkat kesadaran dapat disebabkan oleh gangguan metablisme dan difusi serebral yang berkaitan dengan kegagalan neural akibat proses peradangan otak.
b. Gangguan sistem pernafasan
Perubahanperubahan akibat peningkatan tekanan intra cranial menyebabkan kompresi pada batang otak yang menyebabkan pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas fatal akan terjadi paralisa otot pernafasan (F. Sri Susilaningsih, 1994).
c. Gangguan sistem kardiovaskuler
Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi iskemik pad adaerah tersebut. Hal ini akan merangsang vasokonstriktor dan menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat vasomotor menyebabkan meningkatnya transmiter rangsang parasimpatis ke jantung.

d. Gangguan sistem gastrointestinal
Penderita akan merasa mual dan muntah karena peningkatan tekanan intrakranial yang menstimulasi hipotalamus anterior dan nervus vagus sehingga meningkatkan sekresi asam lambung. Dapat pula terjadi diare akibat terjadi peradangan sehingga terjadi hipermetabolisme (F. Sri Susilaningsih, 1994).
10. Pertumbuhan dan perkembangan
Pada setiap anak yang mengalami penyakit yang sifatnya kronis atau mengalami hospitalisasi yang lama, kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan sangat besar. Hal ini disebabkan pada keadaan sakit fungsi tubuh menurun termasuk fungsi sosial anak. Tahun-tahun pertama pada anak merupakan “tahun emas” untuk kehidupannya. Gangguan atau keterlambatan yang terjadi saat ini harus diatasi untuk mencapai tugas-tugas pertumbuhan selanjutnya. Pengkajian pertumbuhan dan perkembangan anak ini menjadi penting sebagai langkah awal penanganan dan antisipasi. Pengkajian dapat dilakukan dengan menggunakan format DDST.



B. Diagnosa
1. DX I : Potensi terjadi peningkatan tekanan intrakranial sehubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah otak akibat proses peradangan jaringan.
Tujuan: 
Setelah dilakukan tindakan keperawatan intrakranial tidak terjadi, yang ditandai dengan: Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti peningkatan tekanan darah, denyut nadi lembat, pernafasan dalam dan lambat, hiperthermia, pupil melebar, anisokor, refleks terhadap cahaya negatif, tingkat kesadaran menurun.
Intervensi:
a. Kaji ulang status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK, terutama GCS.
b. Monitor TTV: tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal satu jam sampai keadaan klien stabil.
c. Naikkan kepala dengan sudut 15-45 derajat (tidak diperekstensi dan fleksi) dan posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal dalam garis lurus).
d. Monitor intake dan output cairan tiap 8 jam sekali.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat anti edema seperti manitol, gliserol dan lasix.
f. Berikan oksigen sesuai program dengan saluran pernafasan yang lancar.

Rasional:
a. Peningkatan TIK dapat diketahui secara dini untuk menentukan tindakan selanjutnya.
b. Peningkatan TIK dapat diketahui secara dini untuk menentukan tindakan selanjutnya.
c. Dengan posisi tersebut maka akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik vena darah sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah terjadi peningkatan TIK. Posisi netral tanpa hiper ekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan pada saraf spinalis yang menambah peningkatan TIK.
d. Tindakan ini mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri.
e. Obat-obatan tersebut dapat menarik cairan untuk mengurangi edema otak.
f. Mengurangi hipoksemia dapat meningkatkan vasodilatasi serebri, volume darah dan TIK.
2. DX. II : Tidak efektifnya jalan nafas sehubungan dengan penumpukan sekret pada jalan nafas.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan jalan nafas bisa efektif, oksigenasi adekuat yang ditandai dengan: Frekuensi pernafasan 20-24 x/menit, irama teratur, bunyi nafas normal, tidak ada stridor, ronchi, sheezing, tidak ada pernafasan cuping hidung pergerakan dada simetris, tidak ada retraksi.
Intervensi:
a. Kaji ulang kecepatan kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi nafas.
b. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler.
c. Lakukan fisioterapi dada.
d. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret.
e. Observasi TTV terutama frekuensi pernapasan.
f. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor ketepatan terapi dan komplikasi yang mungkin timbul.
Rasional:
a. Perubahan yang terjadi berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian otak yang terkena.
b. Dengan posisi tersebut maka akan mengurangi isi perut terhadap diafragma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu.
c. Dengan fisioterapi dada diharapkan sekret dapat dirontokan ke jalan nafas besar dan bisa dikeluarkan.
d. Dengan dilakukannya penghisapan sekret maka jalan nafas akan bersih dan akumulasi sekret bisa dicegah sehingga pernafasan bisa lancar dan efektif.
e. TTV merupakan gambaran perkembangan klien sebagai pertimbangan dilakukannya tindakan berikutnya.
f. Pemberian oksigen dapat meningkatkan oksigenasi otak. Ketepatan terapi dibutuhkan untuk mencegah terjadinya keracunan oksigen serta iritasi saluran nafas.

DAFTAR PUSTAKA

·  Donna, Medical Surgical Nursing, WB Saunders, 1991

·  Brunner / Suddarth, Medical Surgical Nursing, JB Lippincot Company, Philadelphia, 1984

·  Doenges, Marilyn E, Nursing Care Plans, F.A.Davis Company, Philadelphia, 1993

 
A.  Pengertian

Defisit neurologi yang mempunyai sifat mendadak dan berlangsung dalam 24 jam sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah di otak yang di akibatkan oleh aneurisma atau malformasi arteriovenosa yang dapat menimbulkan iskemia atau infark pada jaringan fungsional otak (Purnawan Junadi, 1982).

B.  Etiologi

1.    Enurisma yang pecah (ruptura arteria serebri).

2.    Malformasi arteriovenosa.

C.  Faktor pendukung terjadinya stroke (bleeding)

a.       Hypertensi, faktor resiko utama

b.      Penyakit kardiovaskuler

c.       Kadar hematokrit tinggi

d.      DM (peningkatan anterogenesis)

e.       Pemakaian kontrasepsi oral

f.       Penurunan tekanan darah berlebihan dalam jangka panjang

g.      Obesitas, perokok, alkoholisme

h.      Kadar esterogen yang tinggi

i.        Usia > 35 tahun

j.        Penyalahgunaan obat

k.      Gangguan aliran darah otak sepintas

l.        Hyperkolesterolemia

m.    Infeksi

n.      Kelainan pembuluh darahh otak (karena genetik, infeksi dan ruda paksa)

o.      Lansia

p.      Penyakit paru menahun (asma bronkhial)

q.      Asam urat

(Brunner & Suddarth, 2000: 94-95, Harsono, 1996:60-65)


D.  Pathofisiologi

Otak sangat tergantung oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen.  Bila terjadi anoksia seperti halnya pada CVA, metabolisme di otak segera mengalami perubahan.  Kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 – 10 menit.  Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau anoksia.  Hipoksia sampai iskemia otak, iskemia dalam waktu singkat (kurang dari 10 – 15 menit) menyebabkan defisit sementara dan bukan defisit permanen.  Iskemia dalam waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang disertai edem otak.  Tipe defisit fokal permanen akan tergantung kepada daerah otak yang mana terkena.  Daerah otak tergantung kepada pembuluh darah otak yang mana terkena.  Yang paling sering terkena arteri cerebral tengah, defisit fokal permanen dapat tidak diketahui jika pertama kali pasien dijumpai iskemia otak keseluruhan yang bisa teratasi.                          

(Sylvia Anderson Price, 1982)

E.   Gejala klinik

-   Sakit kepala yang hebat.

-   Wajah asimetris.

-   Tak sadar/ pingsan.

-   Bingung.

-   Lateralisasi/ hemiparese/ paraparese.

-   Gangguan bicara.

F.   Pemeriksaan diagnostik/ penunjang

1.    Angiografi serebral

Membantu menentukan penyebab dari stroke secara apesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur.

2.    CT Scan

Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.

3.    Pungsi lumbal.

Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan adanya proses inflamasi.

4.    MRI (magnetic Imaging Resonance)

Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.

5.    USG Dopler.

Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (Masalah sistem karotis).

6.    EEG

Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.

G.  Penatalaksanaan

1.    Terapi konsevatif

Memperbaiki keadaan umum, pemberian vasodilator, anti agregasi trombosit

2.    Terapi pembedahan

Endarterektomi à membentuk kembali pembuluh darah.

H.  Komplikasi

1.    Hidrosepalus.

2.    Disritmia.

3.    Afasia.

4.    Hemiparese/ paraparese.

I.  Pengkajian

1.    Riwayat kesehatan yang berhubungan dengan faktor pendukung terjadinya stroke,  serta bio- psiko- sosio- spiritual.

2.    Peredaradan darah

Pernah menderita penyakit jantung, denyut nadi yang tidak teratur, Polisitemia, atau riwayat tekanan darah tinggi.

3.    Eliminasi

Perubahan pola eliminasi (Anuria, inkontinensia uri), distensi abdomen, menghilangnya bising usus.

4.    Aktivitas/ istirahat

Terdapat penurunan aktivitas karena kelemahan tubuh, kehilangan sensasi atau parese/ plegia, mudah lelah, sulit dalam beristirahat karena kejang otot atau spasme dan nyeri. Menurunnya tingkat kesadaran, menurunya kekuatan otot, kelemahan tubuh secara umum.

5.    Nutrisi dn cairan

Adanya riwayat menderita Diabetes Melitus, anoreksia, mual muntah akibat peningkatan TIK (tekanan intra kranial), gangguan menelan, dan kehilangan sensasi pada lidah.

6.    Persarafan

Pusing/ syncope, nyeri kepala, menurunya luas lapang pandang/ pandangan kabur, menurunya sensasi raba terutama pada daerah muka dan ekstrimitas. Status mental koma, kelmahan pada ekstrimitas, paralise otot wajah, afasia, pupil dilatasi, penurunan pendengaran. 

7.    Kenyamanan

Ekspresi wajah yang tegang, nyeri kepala, gelisah.

8.    Pernafasan

Batuk, dyspnea, riwayat perokok.

9.    Keamanan

Memungkinkan terjadinya kecelakaan akibat dari pandangan yang kabur, penurunan sensasi rasa (panas dan dingin).

10.    Psikolgis

Tidak kooperatif, merasa tidak berdaya, tidak mempunyai harapan, perubahan pada konsep diri, dan kesukaran dalam mengekspresikan perasaannya.

11.    Interaksi sosial

Kesulitan dalam melakukan komunikasi karena afasia.

J.     Masalah  dan rencana tindakan keperawatan

1.    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler pada ekstrimitas.

Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas fisik.

a.    Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.

b.    Ajarkan pada pasien tentang rentang gerak yang masih dapat di lakukan.

c.    Lakukan latihan secara aktif dan pasif pada akstrimitas untuk mencegah kekakuan otot dan atrofi.

d.   Anjurkan pasien untuk mengambil posisi yang lurus.

e.    Bantu pasien secara bertahap dalam melakukan ROM sesuai kemampuan.

f.     Kolaborasi dalam pemberian antispamodic atau relaxant jika di perlukan.

g.    Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas 

2.    Penurunan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema cerebri, perdarahan pada otak.

Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kesadaran, kognitif dan fungsi sensori.

a.    Kaji status  neurologis dan catat perubahannya.

b.    Berikan pasien posisi terlentang.

c.    Kolaborasi dalam pemberian O2.

d.   Observasi tingkat kesadaran, tanda vital.

3.    Resiko tinggi terhadap terjadinya cidera berhubungan dengan penurunan luas lapang pandang, penurunan sensasi rasa (panas, dingin)

Tujuan: Pasien menggunakan alat yang aman dalam melakukan aktivitas

a.    Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko terjadinya cidera.

b.    Ajarkan pada pasien untuk menggunakan alat bantu secara benar dan aman.

c.    Ciptakan lingkungan yang aman.

d.   Sajikan makanandan minuman dalam keadaan hangat.

e.    Observasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas secara aman.

4.    Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada himisfer otak.

Tujuan: Pasien mampu melakukan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan menunjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan komunikasi.

a.    Lakukan komunkasi dengan pasien (sering tetapi pendek serta  mudah di pahami).

b.    Ciptakan suatu suasana penerimaan terhadap perubahan yang dialami pasien.

c.    Ajarkan pada pasien untuk memperbaiki  tehnik berkomunikasi.

d.   Pergunakan tehnik komunikasi non verbal.

e.    Kolaborasi dalam pelaksanaan terapi wicara.

f.     Observasi kemampuan pasien dalam melakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal.

5.    Perubahan konsep diri berhubungan dengan perubahan persepsi.

Tujuan: Pasien menunjukan peningkatan kemampuan dalam menerima keadaan nya.

a.    Kaji pasien terhadap derajat perubahan konsep diri.

b.    Dampingi dan dengarkan keluhan pasien.

c.    Beri dukungan terhadap tindakan yang bersifat positif.

d.   Kaji kemampuan pasien dalam beristirahat (tidur).

e.    Observasi kemampuan pasien dalam menerima keadaanya.

6.    Resiko terjadinya ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan: Pasien menunjukan kemauan untuk melakukan kegiatan penatalak- sanaan.

a.    Identifikasi faktor yang dapat menimbulkan ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.

b.    Diskusikan dengan pasien cara-cara untuk mengatasi faktor penghambat tersebut.

c.    Jelaskan pada pasien akibat dari ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.

d.   Libatkan keluarga dalam penyuluhan.

e.    Anjurkan pada pasien untuk melakukan kontrol secara teratur.



             DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.

Junadi, Purnawan,  1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Price, Sylvia Anderson, 1985, Pathofisiologi Konsep klinik proses-proses penyakit, Jakarta: EGC.

 
Pengertian :

Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Indikasi dan tujuan pemasangan WSD

1.      Indikasi :

Ø  Pneumotoraks, hemotoraks, empyema

Ø  Bedah paru :

-          karena ruptur pleura udara dapat masuk ke dalam rongga pleura

-          reseksi segmental msalnya pada tumor, TBC

-          lobectomy, misal pada tumor, abses, TBC

2.      Tujuan pemasangan WSD

Ø  Memungkinkan cairan ( darah, pus, efusi pleura ) keluar dari rongga pleura

Ø  Memungkinkan udara keluar dari rongga pleura

Ø  Mencegah udara masuk kembali ke rongga pleura yang dapat menyebabkan pneumotoraks

Ø  Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan negatif pada intra pleura.

Prinsip kerja WSD

1.      Gravitasi                : Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah.

2.      Tekanan positif     : Udara dan cairan dalam kavum pleura ( + 763 mmHg atau lebih ). Akhir pipa WSD menghasilkan tekanan WSD sedikit ( + 761 mmHg )

3.      Suction

Jenis WSD

1.      Satu botol

Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup mempunyai dua lobang, satu untuk ventilasi udara dan lainnya memungkinkan selang masuk hampir ke dasar botol. Keuntungannya adalah :

-          Penyusunannya sederhana

-          Mudah untuk pasien yang berjalan

Kerugiannya adalah :

-          Saat drainase dada mengisi botol lebih banyak kekuatan yang diperlukan

-          Untuk terjadinya aliran tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol

-          Campuran darah dan drainase menimbulkan busa dalam botol yang membatasi garis pengukuran drainase

2.      Dua botol

Pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampung dan yang kedua bekerja sebagai water seal. Pada sistem dua botol, penghisapan dapat dilakukan pada segel botol dalam air dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.

Keuntungan :

-          Mempertahankan water seal pada tingkat konstan

-          Memungkinkan observasi dan pengukuran drainage yang lebih baik

Kerugian :

-          Menambah areal mati pada sistem drainage yang potensial untuk masuk ke dalam area pleura.

-          Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol.

-          Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara pada kebocoran udara.

 

3.      Tiga botol

Pada sistem tiga botol, botol kontrol penghisap ditambahkan ke sistem dua botol. Botol ketiga disusun mirip dengan botol segel dalam air. Pada sistem ini yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ketiga dan bukan jumlah penghisap di dinding yang menentukan jumlah penghisapan yang diberikan pada selang dada. Jumlah penghisap di dinding yang diberikan pada botol ketiga harus cukup unutk menciptakan putaran-putaran lembut gelembung dalam botol. Gelembung kasar menyebabkan kehilangan air, mengubah tekanan penghisap dan meningkatkan tingkat kebisingan dalam unit pasien. Untuk memeriksa patensi selang dada dan fluktuasi siklus pernafasan, penghisap harus dilepaskan saat itu juga.

Keuntungan :

-          sistem paling aman untuk mengatur pengisapan.

Kerugian :

-          Lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk terjadinya kesalahan dalam perakitan dan pemeliharaan.

-          Sulit dan kaku untuk bergerak / ambulansi

4.      Unit drainage sekali pakai

Ø  Pompa penghisap Pleural Emerson

Merupakan  pompa penghisap yang umum digunakan sebagai pengganti penghisap di dinding. Pompa Penghisap Emerson ini dapat dirangkai menggunakan sistem dua atau tiga botol.

Keuntungan :

-          Plastik dan tidak mudah pecah

Kerugian :

-          Mahal

-          Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran drainage bila unit terbalik.

Ø  Fluther valve

Keuntungan :

-          Ideal untuk transport karena segel air dipertahankan bila unit terbalik

-          Kurang satu ruang untuk mengisi

-          Tidak ada masalah dengan penguapan air

-          Penurunan kadar kebisingan

Kerugian :

-          Mahal

-          Katup berkipas tidak memberikan informasi visual pada tekanan intra pleural karena tidak adanya fluktuasi air pada ruang water seal.

Ø  Calibrated spring mechanism

Keuntungan :

-          Idem

-          Mampu mengatasi volume yang besar

Kerugian

-          Mahal

Tempat pemasangan WSD

1.      Bagian apeks paru ( apikal )

2.      Anterolateral interkosta ke 1- 2 untuk mengeluarkan udara bagian basal

3.      Posterolateral interkosta ke 8 – 9 untuk mengeluarkan cairan ( darah, pus ).

Persiapan pemasangan WSD

§  Perawatan pra bedah

1.      Menentukan pengetahuan pasien mengenai prosedur.

2.      Menerangkan tindakan-tindakan pasca bedah termasuk letak incisi, oksigen dan pipa dada, posisi tubuh pada saat tindakan dan selama terpasangnya WSD, posisi jangan sampai selang tertarik oleh pasien dengan catatan jangan sampai rata/ miring yang akan mempengaruhi tekanan.

3.      Memberikan kesempatan bagi pasien untuk bertanya atau mengemukakan keprihatinannya mengenai diagnosa dan hasil pembedahan.

4.      Mengajari pasien bagaimana cara batuk dan menerangkan batuk serta pernafasan dalam yang rutin pasca bedah.

5.      Mengajari pasien latihan lengan dan menerangkan hasil yang diharapkan pada pasca bedah setelah melakukan latihan lengan.

§  Persiapan alat

1.      Sistem drainase tertutup

2.      Motor suction

3.      Selang penghubung steril

4.      Cairan steril : NaCl, Aquades

5.      Botol berwarna bening dengan kapasitas 2 liter

6.      Kassa steril

7.      Pisau jaringan

8.      Trocart

9.      Benang catgut dan jarumnya

10.  Sarung tangan

11.  Duk bolong

12.  Spuit 10 cc dan 50 cc

13.  Obat anestesi : lidocain, xylocain

14.  Masker

§  Perawatan pasca bedah

Perawatan setelah prosedur pemasangan WSD antara lain :

1.      Perhatikan undulasi pada selang WSD

2.      Observasi tanda-tanda vital : pernafasan, nadi, setiap 15 menit pada 1 jam pertama

3.      Monitor pendarahan atau empisema subkutan pada luka operasi

4.      Anjurkan pasien untuk memilih posisi yang nyaman dengan memperhatikan jangan sampai selang terlipat

5.      Anjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan mengubah posisi

6.      Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu

7.      Ganti botol WSD setiap tiga hari dan bila sudah penuh, catat jumlah cairan yang dibuang

8.      Lakukan pemijatan pada selang untuk melancarkan aliran

9.      Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, cynosis, empisema.

10.  Anjurkan pasiuen untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk yang efektif

11.  Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh

Bila undulasi tidak ada, ini mempunyai makna yang sangat penting karena beberapa kondisi dapat terjadi antara lain :

1.      Motor suction tidak jalan

2.      Selang tersumbat atau terlipat

3.      Paru-paru telah mengembang

Oleh karena itu harus yakin apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainase, amati tanda-tanda kesulitan bernafas.

Cara mengganti botol WSD

1.      Siapkan set yang baru. Botol yang berisi aguades ditambah desinfektan.

2.      Selang WSD diklem dulu

3.      Ganti botol WSD dan lepas kembali klem

4.      Amati undulasi dalam selang WSD.

Indikasi pengangkatan WSD

1.      Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :

-          Tidak ada undulasi

-          Tidak ada cairan yang keluar

-          Tidak ada gelembung udara yang keluar

-          Tidak ada kesulitan bernafas

-          Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara

2.      Selang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada selang.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN WSD

 

1.      Pengkajian

  1. Sirkulasi
-          Taki kardi, irama jantung tidak teratur ( disaritmia )

-          Suara jantung III, IV, galop / gagal jantung sekunder

-          Hipertensi / hipotensi


 2.   Nyeri
Subyektif :

-          Nyeri dada sebelah

-          Serangan sering tiba-tiba

-          Nyeri bertambah saat bernafas dalam

-          Nyeri menyebar ke dada, badan dan perut

Obyektif

-          Wajah meringis

-          Perubahan tingkah laku


 3.   Respirasi
Subyektif :

-          Riwayat sehabis pembedahan dada, trauma

-          Riwayat penyakit paru kronik, peradangan, infeksi paru, tumor, biopsi paru.

-          Kesulitan bernafas

-          Batuk

Obyektif :

-          Takipnoe

-          Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot bantu dada, retraksi interkostal.

-          Fremitus fokal

-          Perkusi dada : hipersonor

-          Pada inspeksi dan palpasi dada tidak simetris

-          Pada kulit terdapat sianosis, pucat, krepitasi subkutan


 4.   Rasa aman
-          Riwayat fraktur / trauma dada

-          Kanker paru, riwayat radiasi / khemotherapi


 5.   Pengetahuan
-          Riwayat keluarga yang mempunyai resiko tinggi seperti TB, Ca.

-          Pengetahuan tentang penyakit, pengobatan, perawatan.

2.      Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

Dx.1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan :

-          Penurunan ekspansi paru

-          Penumpukan sekret / mukus

-          Kecemasan

-          Proses peradangan

Ditandai dengan :

-          Dyspnoe, takipnoe

-          Nafas dalam

-          Menggunakan otot tambahan

-          Sianosis, arteri blood gas abnormal ( ABGs )

Kriteria evaluasi

-          Pernafasan normal / pola nafas efektif dengan tidak adanya sianosis, gejala hipoksia dan pemeriksaan ABGs normal.

Intervensi keperawatan dan rasionalisasi

Independen

  1. Identifikasi faktor presipitasi, misal :
-          Kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi komplikasi dari mekanik pernafasan

Memahami penyebab dari kolaps paru sangat penting untuk mempersiapkan WSD pada ( hemo/pneumotoraks ) dan menentukan untk terapi lainnya.


 2.   Evaluasi fungsi respirasi, catat naik turunnya/pergerakan dada, dispnoe, kaji kebutuhan O2, terjadinya sianosis dan perubahan vital signs.
Tanda-tanda kegagalan nafas dan perubahan vital signs merupakan indikasi terjadinya syok karena hipoksia, stress dan nyeri.


 3.   Auskultasi bunyi pernafasan
-          Kemungkinan akibat dari berkurangnya atau tidak berfungsinya lobus, segmen, dan salah satu dari paru-paru

-          Pada daerah atelektasis suara pernafasan tidak terdengar tetapi bila hanya sebagian yang kolaps suara pernafasan tidak terdengar dengan jelas.  Hal tersebut dapat menentukan fungsi paru yang baik dan ada tidaknya atelektasis paru.


 4.   Catat pergerakan dada dan posisi trakea
Pergerakan dada yang terjadi pada saat inspirasi maupun ekspirasi tidak sama dan posisi trakea akan bergeser akibat adanya tekanan peumotoraks.


 5.    Kaji fremitus
Suara dan fibrasi fremitus dapat membedakan antara daerah yang terisi cairan dan adanya pemadatan jaringan


 6.   Bantu pasien dengan menekan pada daerah yang nyeri sewaktu batuk dan nafas dalam
Dengan penekanan akan membantu otot dada dan perut sehingga dapat batuk efektif dan mengurangi trauma


 7.   Pertahankan posisi yang nyaman dengan kepala lebih tinggi dari kaki
-          Miringkan dengan arah yang sesuai dengan posisi cairan / udara yang ada di dalam rongga pleura

-          Bantu untuk mobilisasi sesuai dengan kemampuannya secara bertahap dan beri penguatan setiap kali pasien mampu melaksanakannya.

Mendukung untuk inspirasi maksimal, memperluas ekspirasi paru-paru dan ventilasi.


 8.    Bantu pasien untuk mengatasi kecemasan /ketakutan dengan mempertahankan sikap tenang, membantu pasien untk mengontrol dengan nafas dalam.
Kecemasan disebabkan karena adanya kesulitan dalam pernafasan dan efek psikologi dari hipoksia.

Bila WSD terpasang

Ø  Cek ruang kontrol suction untuk jumlah cairan yang keluar dengan tepat ( untuk batas air dinding regulator terpasang dengan benar ).

Mempertahankan tekanan negatif intra pleural dengan mempertahankan ekspansi paru secara optimal atau dari drainage cairan.

Ø  Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan pada batas yang telah ditetapkan.

Cairan dalam botol WSD untuk mencegah terjadi tekanan udara dalam rongga pleura pada waktu suction  tidak digunakan dan sebagai alat untuk evaluasi apakah sistem drainage berfungsi atau tidak.

Ø  Observasi gelembung udara pada botol WSD

-          Gelembung udara merupakan udara yang keluar akibat adanya reflek ekspansi pada pneumotoraks. Gelmbung udara biasanya terjadi sebagai akibat dari penurunan pengembangan paru atau terjadi selama ekspansi atau batuk pada fungsi rongga pleura menurun.

-          Tidak ditemukannya gelembung udara berarti ekspansi paru normal atau terjadi hambatan seperti obstruksi pada selang.

Ø  Evaluasi gelembung udara yang terjadi.

Dengan suction yang terpasang dapat mengidikasikan adanya kebocoran udarayang menetap mungkin dari pneumotoraks yang luas, luka insersi dari selang atau dari sistem WSD.

Ø  Tentukan lokasi kebocoran pada pasien atau WSD ( dengan memasang klem pada selang kateter toraks distal ) dengan sedikit ditarik keluar.

Apakah bubbling terhenti ketika kateter di klem, maka kebocoran terjadi pada klien.

Ø  Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD

Rongga WSD menunjukkan adanya tekanan intra pleura dimana terjadi perbedaan tekanan pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Perbedaan tersebut normal 2 – 6 cm.

Ø  Monitor untuk undulasi abnormal dan catat apabila ada perubahan yang menetap atau sementara.

Peningkatan fluktuasi tidak terjadi pada saat batuk. Bila terjadi obstruksi menunjukkan adanya pneumotoraks yang luas sehingga peningkatan tersebut akan berlangsung secara terus menerus.

Ø  Atur posisi sistem drainage agar berfungsi seoptimal mungkin, misalnya sisakan panjang selang pada tempat tidur, yakinkan bahwa selang itu tidak kaku dan menggantung di atas WSD, keluarkan akumulasi cairan bila perlu.

Bila posisi tidak baik, menekuk atau adanya akumulasi cairan akan mengakibatkan tekanan berkurang pada wSD dan mengurangi pengeluaran udara dan cairan berkurang.

Ø  Evaluasi apakah perlu tube tersebut dilakukan pengurutan

Menarik / menekan diperlukan untuk mengeluarkan gumpalan darah / eksudat drainage.

Ø  Tekan selang dengan hati-hati pada setiap kali melakukannya, jangan sampai mempengaruhi tekanan yang ada.

Penarikan biasanya dirasakan kurang nyaman oleh pasien sebab akan mempengaruhi tekanan intra toraks yang menyebabkan batuk dan nyeri dada. Penarikan yang salah dapat menimbulkan trauma /injury misalnya; invaginasi jaringan, kolaps jaringan di sekitar kateter atau perdarahan dari dinding kapiler.

Bila WSD tidak terpasang

Ø  Perhatikan adanya tanda-tanda respirasi distress kemudian hubungkan toraks kateter dengan selang suction. Perhatikan tehnik aseptik. Apabila kateter tercabut, tutup luka insersi dengan dressing dengan sedikit tekanan dan segera lapor ke dokter.

Dapat terjadi pneumotoraks

Setelah selang dilepas

Ø  Observasi tanda dan gejala bila kemungkinan terjadi kembali pneumotoraks seperti nafas pendek, mengeluh nyeri. Tutup luka dengan dressing steril, observasi keadaan luka.

Deteksi dini dari adanya komplikasi sangat penting, misalnya pneumotoraks kembali / infeksi.

Kolaborasi

Ø  Lakukan fototoraks ulang

Untuk memonitor terjadinya hemo/pneumotoraks dan pengembangan paru.

Ø  Periksa ulang analisa gas darah, tekana O2 dan tidal volume.

Mengetahui pertukaran gas dan ventilasi untuk menentukan therapi selanjutnya.

Ø  Perhatikan apabila membutuhkan penambahan O2

Merupakan alat bantu pernafasan, mencegah terjadinya respiratory distress syndrom dan sianosis akibat hipoksemia.

Dx 2. Injuri, potensial terjadi trauma / hypoksia sehubungan dengan ; pemasangan alat WSD, kurangnya pengetahuan tentang WSD ( prosedur dan perawatan )

Kriteria evaluasi :

-          mengenal tanda-tanda komplikasi

-          pencegahan lingkungan / bahaya fisik lingkungan

Intervensi perawatan dan rasionalisasi

Independen

  1. Review dengan pasien akan tujuan / fungsi drainege, catat/ perhatikan tujuan yang penting dalam penyelamatan jiwa
Informasi tentang kerja WSD akan mengurangi kecemasan


 2.   Fiksasi kateter thoraks pada didnding dada dan sisakan panjang kateter agar pasien dapat bergerak atau tidak terganggu pergerakannya.
Mencegah lepasnya kateter dan mengurangi nyeri akibat terpasangnya kateter dada

Perhatikan bahwa sambungan selang kateter dengan WSD aman

Mencegah lepasnya sambungan selang

Lapisi dengan kasa pada insersis kateter

Mencegah iritasi kulit
3.   Usahakan WSD berfungsi dengan baik dan aman dengan meletakkannya ebih rendah dari bed pasien di lantai atau troli.
Mempertahankan posisi gaya gravitasi dan mengurangi resko kerusakan ataupun pecahnya unit WSD


4.    Lengkapi dengan alat transportasi yang aman bila dibawa ke lain unit untuk pemeriksaan diagnostik
-          Sebelum berangkat cek WSD, batas cairan, ada tidaknya gelembung, undulasi ( derajat dan waktunya )

-          Yakinkan chest tube dapat di klem atau dilipat dari suction / WSD

Mempertahankan berlangsungnya pengeluaran cairan / udara secara optimal selama transportasi bila pengeluaran cairan dari rongga dada banyak kateter jangan di klem, suction jangan dicabut sebab dapat mengakibatkan adanya akumulasi cairan / udara sehingga timbul gangguan respirasi.


 5.    Monitor insersi kateter pada dinding dada, perhatikan keadaan kulit di sekitar kateter drainage. Ganti dressing dengan kassa steril setiap kali diperlukan.
Untuk mengetahui keadaan kulit seperti infeksi, erosi jaringan sedini mungkin


 6.    Anjurkan pasien untuk tidak menekan atau membebaskan selang dari tekanan, misalnya tertindih tubuh.
Mengurangi resiko obstruksi drain atau lepasnya sambungan selang.


 7.    Kaji perubahan yang terjadi, catat ; beri tindakan perawatan jika :
-          perubahan suara bubling

-          kebutuhan O2 yang tiba-tiba

-          nyeri dada

-          lepasnya selang

Intervensi yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi


 8.   Observasi adanya tanda-tanda respirasi distress bila kateter thoraks tercabut.
Pneumothoraks dapat terjadi sehingga timbul gangguan fungsi pernafasan yang memerlukan tindakan emergency

Dx 3. Kurangnya pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi

Kriteria evaluasi :

-          Menyebutkan penyebab penyakit

-          Dapat mengidentifikasi tanda / gejala untuk perawatan / pengobatan lebih lanjut

-          Mengikuti program therapi dan menunjukkan adanya perubahan pola hidup untuk mencegah timbulnya / kambuhnya penyakit.

Intervensi keperawatan dan rasionalisasi

Independen

  1. Review patologi penyakit dengan klien
Informasi dapat menurunkan kecemasan / ketakutan akibat ketidak tahuan. Pengetahuan mendasari pemahaman akan keadaan adan pentingnya intervensi therapiutik.


 2.   Identifikasi adanya kekambuhan penyakit / komplikasi
Penyakit paru COPD + malignant merupakan penyebab terjadinya kekambuhan penyakit. Pada klien sehat tapi menderita spontaneus pneumotoraks kekambuhan berkisar 10 – 15%, yang sudah kambuh dua kali resiko untuk menderita kembali sekitar 60%.


3.   Review tanda dan gejala yang perlu tindakan medis segera; nyeri dada tiba-tiba, dispnoe, distress respiratory.
Kambuhnya pneumo/hemothoraks memerlukan tindakan medis untuk mencegah/mengurangi terjadinya komplikasi


 4.    Review pentingnya pola hidup sehat ; nutrisi adekuat, istirahat, latihan.
Mempertahankan kesehatan secara umum dan mencegah terjadinya kekambuhan.

world health